Dakwah Salafiyah Bukan Murji'ah
الدعوة السلفية ليست المرجعة
Dakwah Salafiyah Bukan Murji’ah
Oleh : Al-Ustadz Abu’Abdirrahman bin Thayyib, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
Pada akhir-akhir ini banyak sekali tuduhan-tuduhan miring yang
dilontarkan kepada Dakwah Salafiyah yang mubarokah, terutama oleh para
aktivis gerakan (harokah termasuk adanya gerakan Khowarij Kontemporer)
yang merasa telah banyak dibongkar kedok mereka oleh dakwah ini. Dan
yang paling banyak atau sering mendapat tuduhan tersebut adalah
Al-'Allaamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullahu beserta murid-murid beliau -hafizhahumullahu-.
Dan ini merupakan suatu kebiasaan ahli bid'ah sejak zaman dahulu sampai
sekarang untuk menjauhkan umat dari para ulama Robbaniyyin yang
berdakwah kepada tauhid serta menebarkan sunnah dan membasmi syirik
serta bid'ah. Hal ini seperti yang telah dialami oleh Dakwah Salafiyah
yang dijalankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu yang
dituduh dengan berbagai macam celaan, bahkan sebagian orang awam yangl
termakan syubhat-syubhat mereka ketika mendengar gelar wahabi Iangsung
merinding dan lari ketakutan.
Diantara tuduhan yang sekarang lancar disebarkan adalah tuduhan bahwa
Dakwah Salafiyah adalah Dakwah Murji'ah. Padahal kalau mereka mau
membuka mata lebar-lebar dan membersihkan hati, sungguh mereka akan
banyak beristighfar dan bertobat dari semua tuduhan ini.
Siapakah Murji'ah menurut Ulama Salaf?
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata : “Adapun Murji'ah mereka
mengatakan iman hanyalah ucapan tanpa amal per buatan, barangsiapa yang
bersyahadat Laa ilaha illa Allohu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu
maka dia telah sempuma keimanannya. Imannya seperti imannya Jibril dan
para malaikat meskipun dia membunuh (orang yang haram darahnya-pent) dia
tetap dikatakan sebagai mukmin, dan meskipun dia meninggalkan mandi
janabat serta tidak sholat. Mereka juga menghalalkan darah kaum
muslimin. "
Waki' bin Jarroh rahimahullahu berkata “Ahlu Sunnah mengatakan bahwa
iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Adapun Murji’ah mengatakan bahwa
iman adalah ucapan belaka tanpa perbuatan. Sedangkan Jahmiyah mengatakan
iman hanyalah ma’rifah (pengenalan).”
Fadhl bin Ziyad rahimahullahu berkata : “Pernah Imam Ahmad ditanya
tentang Murji'ah, lalu beliau berkata : Murji'ah adalah kelompok yang
menyatakan iman itu hanyalah ucapan.”
Muhammad bin Husein Al-Ajurri rahimahullahu berkata : "Berhati-hatilah
kalian -rohimakumullahu- dari ucapan orang yang mengatakan :
Sesungguhnya imanku seperti imannya Jibril dan Mikail. Dan barangsiapa
yang mengatakan : Saya adalah orang mukmin di sisi Alloh dan saya adalah
orang yang sempurna keimanannya, maka ini adalah ucapan kelompok
Murji'ah.”
Syuraih bin Nu’man rahimahullahu berkata : "Aku pernah bertanya kepada
Yahya bin Salim Ath-Thoo`i ketika kami berada di belakang maqom Ibrahim
(di masjidil Haram Mekah-pent). Apa yang dikatakan oleh Murji'ah? Beliau
menjawab, Mereka mengatakan : Thowaf di Ka'bah bukan termasuk
keimanan.”
Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: "Telah sampai kepadaku
bahwa Syu'bah berkata kepada Syariik rahimahullahu : Mengapa engkau
tidak memperbolehkan persaksian Murji'ah? Beliau menjawab : Bagaimana
mungkin aku membolehkan persaksian kaum yang menyatakan bahwa sholat
bukan termasuk keimanan?”
Berkata Imam Ibnu Baththoh Al-Akburi rahimahullahu (meninggal tahun 387
H) : "Berhati-hatilah kalian -rahimakumullahu- dari bermajlis dengan
suatu kaum yang keluar dari agama ini, karena mereka mengingkari
Al-Qur’an dan menyelisihi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta
keluar dari ijma ulama kaum muslimin. Mereka adalah kelompok yang
mengatakan : Iman adalah ucapan tanpa amal perbuatan.
Mereka juga mengatakan : Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla menurunkan
kepada mereka kewajiban-kewajiban tapi tidak memerintahkan mereka untuk
mengamalkannya dan tidak memadhorotkan mereka jika mereka meninggalkan
kewajiban-kewajiban tersebut. Dan Alloh melarang mereka dari hal-hal
yang haram, dan manusia tetap menjadi orang yang beriman (secara
sempurna-pent) meskipun melakukan hat-hal yang dilarang tersebut.
Sesungguhnya iman menurut mereka adalah mengakui kewajiban-kewajiban dan
tidak perlu untuk dikerjakan dan mengetahui yang haram meskipun mereka
halalkan. Mereka mengatakan : Sesungguhnya mengenal Alloh itu disebut
sebagai iman yang tidak membutuhkan ketaatan. Sesungguhnya orang yang
tahu tentang Alloh dengan hatinya maka dia adalah seorang mukmin dan
orang yang beriman dengan lisannya serta mengakui dergan hatinya adalah
orang yang sempurna keimanannya seperti Jibril. Iman itu tidak
bertingkat dan tidak bertambah serta tidak berkurang. Tidak ada
perbedaan antara manusia (dalam tingkatan keimanan-pent), orang yang
rajin (ibadah) dan yang malas, yang taat dan yang berbuat maksiat
semuanya sama...”
Beliau juga berkata : "Berhati-hatilah katian –rahimahumullahu- dari
orang yang mengatakan saya mukmin di sisi Alloh dan saya mukmin yang
sempurna imannya, dan berhati-hatilah dari orang yang mengatakan imanku
seperti imannya Jibril dan Mikail. Sesungguhnya mereka adalah Murji'ah,
kelompok sesat dan menyimpang dari agama...”
Berkata Imam Abdul Qohir bin Thohir Al-Baghdadi rahimahullahu (meninggal
pada tahun 429 H) : "Mereka dinamakan Murji'ah karena mereka
mengakhirkan amal perhuatan dari keimanan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : "Murji'ah yang
mengatakan iman adalah pembenaran dalam hati serta ucapan dengan lisan
dan bahwasanya amal bukan termasuk iman, diantara mereka adalah fuqoha'
Kufah dan para ahli ibadah...”
Beliau juga berkata : "Adapun masalah istitsna' (mengatakan insya
Alloh,-ed) dalam Iman yaitu seseorang mengatakan : Saya mukmin insya
Alloh, maka manusia ada tiga pendapat dalam hal ini : ada yang
mewajibkan, ada pula yang mengharaman dan ada juga yang membolehkan
kedua-duanya. Dan pendapat ketiga inilah yang paling benar. Yang
mengharamkan istitsna' adalah orang-orang Murji’ah dan Jahmiyah serta
selain mereka dari orang-orang yang menyatakan bahwa iman itu satu
(tidak bercabang,-pent)…”
Imam Ibnu Atsir rahimahullahu berkata : "Murji'ah adalah suatu kelompok
(sempalan) dalam Islam yang meyakini bahwa makiat tidaklah memadhorotkan
keimanan sebagaimana tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran.
Mereka dinamakan Murji'ah karena keyakinan mereka bahwa Alloh
mengakhirkanlmenjauhkan adzab dari mereka karena perbuatan maksiat...”
Dari ucapan-ucapan ulama salaf di atas dan yang lain yang tidak mungkin
kami sebutkan semuanya di sini, telah jelas bagi kita tanda-tanda atau
ciri-ciri Murji'ah sebenarnya. Inilah tanda-tanda Murji'ah menurut ulama
salaf :
1. Ucapan bahwasanya iman adalah ucapan lisan atau pembenaran hati atau ucapan dan pembenaran.
2. Ucapan bahwasanya iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa
berkurang. Dan bahwasanya iman itu tidak bercabang serta tidak
bertingkat-tingkat keimanan pemiliknya dan keimanan semua orang itu
sama.
3. Mereka mengharamkan istitsna' dalam iman.
4. Pernyataan bahwasanya meninggalkan kewajiban dan melakukan yang dilarang tidak memadhorotkan keimanan dan tidak merubahnya.
5. Menyempitkan kekufuran hanya dengan takdzib/pendustaan hati saja.
6. Mensifatkan perbuatan kufur yang tidak bisa diganggu gugat
kekufurannya seperti menghina/mengolok-olok (Alloh dan Rasul-Nya serta
agama-Nya) dengan ucapan :Itu bukan kufur sebenarnya, namun hanya
menunjukkan pendustaan dalam hatinya.
Inilah ciri-ciri Murji’ah menurut Ahlu Sunnah, maka barangsiapa yang
memiliki salah satu perangai darinya maka diaah Murji'ah khabits (yang
busuk). Dan barangsiapa yang tidak memiliki sedikitpun tanda-tanda
tersebut maka diharamkan untuk dia dituduh dengan Murji'ah selamanya,
karena daging/kehormatan para ulama dan penuntut ilmu itu beracun.
Dan Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah manusia yang paling
tahu tentang kebenaran serta paling kasih sayang kepada manusia. Mereka
tidak menuduh siapapun juga dengan tuduhan batil/dusta, karena
kehormatan adalah tanah larangan yang tidak boleh didekati kecuali
dengan bukti yang jelas sejelas matahari di siang bolong. Mereka Ahlu
Sunnah bukan sepertl kebanyakan (aktivis gerakan-pent) sekarang yang
menuduh orang-orang yang tak bersalah dengan tuduhan-tuduhan batil
karena dorongan hizbiyah (fanatik golongan) atau karena latar belakang
dunia.
Siapakah yang Tidak Bisa Dikatakan Murji’ah Menurut Salaf?
Para ulama salaf telah menyebutkan kepada kita tentang ciri-ciri
orang-orang yang terlepas dan keluar dari Murji'ah, diantaranya :
1- Ucapan bahwasanya iman itu ucapan dan perbuatan.
Abdullah bin Mubarok rahimahullahu pernah ditanya : “Apakah anda
Murji'ah?” Beliau menjawab : “Saya mengatakan iman adalah ucapan dan
perbuatan, bagaimana mungkin saya menjadi Murji’ah?!”
2- Ucapan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad rahimahullahu, pernah ditanya tentang orang yang mengatakan
bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang ? Beliaupun menjawab: “Orang
ini telah terlepas dari Murji'ah.”
Imam Al-Barbahari rahimahullahu. mengatakan "Barangsiapa yang mengatakan
iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang maka dia telah
keluar dari Murji'ah mulai dari awal sampai akhlrnya."
3- Ucapan bahwasanya maksiat bisa mengurangi keimanan dan dapat memadhorotkannya.
4- Bolehnya mengatakan saya mukmin insya Alloh.
Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: "Apabila dia meninggalkan istitsna' maka ini termasuk prinsip Murji'ah.”
5- Ucapan bahwasanya kekufuran bisa dengan perbuatan sebagaimana
kekufuran juga bisa disebabkan oleh keyakinan dan ucapan. Dan bahwasanya
amal perbuatan terkadang bisa dianggap kafir tanpa melihat keyakinan.
Murji’ah Menurut Ahli Bid’ah Terdahulu
Dahulu ahli bid'ah dari kalangan khowarij dan selainnya menuduh Ahlu
Sunnah wal Jama'ah dengan Murji'ah, karena Ahlu Sunnah berkeyakinan
bahwa pelaku dosa besar tidak kafir kecuali dengan adanya istihlal
(penghalalan akan dosa tersebut) dan bahwasanya orang yang meninggalkan
sholat karena malas tidak menyebabkannya kafir yang mengeluarkan dari
Islam. Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa tuduhan terhadap Ahlu
Sunnah ini sudah ada sejak dahulu dan yang menuduh tersebut lebih dekat
kepada bid’ah dari pada kepada sunnah.
Disini kita cukupkan dengan menyebutkan dua atsar dari salaf
1. Ishaq bin Rohawaih rahimahullahu menceritakan dari Syaiban bin Farukh
bahwasanya dia pernah berkata : "Aku bertanya kepada Abdullah bin
Mubarok : “Apa pendapatmu mengenai orang yang berzina, meminum khomer
dan selainnya, apakah dia mukmin?” Abdullah bin Mubarok menjawab : “Aku
tidak mengeluarkannya dari keimanan.” Syaiban berkata : “Dengan usiamu
yang tua engkau menjadi Murji'ah?!” Abdullah bin Mubarok menjawab :
“Wahai Abu Abdulah, sesungguhnya Murji'ah tidak mernerimaku. Aku
mengatakan iman itu bertambah sedangkan Murji'ah tidak mengatakan
seperti itu.”
2. Syaikh Al-'Allamah Abul Fadhl As-Saksaki Al-Hambali rahimahullahu
berkata: “Sesungguhnya sekelompok ahli bid'ah yang bernama
Al-Manshuriyah menuduh Ahlu Sunnah sebagai Murji'ah karena mereka (Ahlu
Sunnah) mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat jika tidak
diiringi dengan pengingkaran akan kewajibannya maka dia masih muslim
menurut pendapat yang kuat dari madzhab Imam Ahmad. Mereka (ahli bid'ah)
mengatakan : Pendapat ini menjadikan iman menurut mereka hanyalah
ucapan tanpa amal perbuatan.”
Padahal sangat jelas perbedaan antara hukum orang yang meninggalkan
sholat karena malas menurut Ahlu Sunnah dan menurut Murji'ah. Imam Ibnu
Abdil Bar rahimahullahu berkata : "Ucapan (tentang tidak kafirnya orang
yang meninggalkan sholat karena malas) telah dikatakan oleh sekelompok
dari para imam yang mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan. Dan
Murji'ah juga mengatakan seperti itu, akan tetapi Murji'ah mengatakan
orang tersebut sempurna keimanannya. Dan kami telah menyebutkan
perbedaan ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah tentang orang yang meninggalkan
sholat (Karena malas tapi masih mengakui hukum kewajibannya,-pent).
Adapun ahli bid'ah seperti Murji'ah mereka mengatakan Orang yang
meninggalkan sholat imannya sempurna jika dia masih meyakini
kewajibannya.”
Bahkan mereka mengatakan Imannya seperti iman Jibril dan Mikail!! Adapun
Salaf Ahli Hadits mereka mengatakan : "Sesungguhnya dia kurang imannya,
dan berada di bawah kehendak Alloh, jika Dia berkehendak Dia akan
mengadzabnya di neraka (meski tidak kekal didalamnya,-pent) dan jika Dia
mau, Dia ampuni serta Dia masukkan kedalam surga-Nya.”
Imam Ash-Shobuni juga berkata : “Ahli hadits berselisih pendapat tentang
seorang muslim yang meninggalkan sholat fardhu dengan sengaja. orang
tersebut dikatakan kafir oleh Imam Ahmad bin Hambal dan sekelompok ulama
salaf yang lain dan mereka mengeluarkannya dari agama Islam seperti
yang tercantum dalam hadits shohih yang diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam : "Antara seorang hamba dengan kesyirikan
adalah meninggalkan sholat, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat ia
kafir.”
Imam Syafi’i rahimahullahu beserta para sahabat-sahabat beliau dari
ulama salaf -semoga rohmat Alloh atas mereka semua- berpendapat bahwa
orang tersebut tidak kafir selama meyakini kewajibannya. Akan tetapi
orang tersebut berhak untuk dibunuh, seperti orang murtad dari Islam
yang juga berhak dibunuh. Mereka menafsirkan hadits diatas dengan :
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan mengingkari kewajibannya
(maka dia kafir)...”
Definisi Murji’ah Menurut Ahli Bid’ah Sekarang
Orang-orang yang menyelisihi Ahlu Sunnah dan menuduh mereka dengan
Murji'ah telah melakukan suatu kedustaan dan kebohongan. Tapi Alloh
enggan melainkan menjatuhkan mereka kedalam lingkaran ahli bid'ah
terdahulu yang juga sama-sama menuduh Ahlu Sunnah sebagai Murji'ah yang
ekstrim.
Jika ahli bid'ah terdahulu menuduh orang yang tidak mengkafirkan pelaku
dosa besar seperti zina, minum khomer dan semisalnya dengan Murji'ah,
maka orang-orang yang menyelisihi (Dakwah Salafiyah,-pent) sekarang
menuduh orang yang tidak mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain
hukum Alloh tanpa adanya istihlal/penghalalan dengan tuduhan sebagai
Murji'ah.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh pembuat makalah Aqidah Jama'ah
Salafiyah di Majalah “An-Najah” dalam penutup hal. 5 : "Jika anda telah
memahami bahwa aqidah “JS” (Jama’ah Salafiyah) dalam bab iman adalah
aqidah Murji'ah Fuqaha' dan aqidah mereka dalam bab kekafiran adalah
aqidah Jahmiyah (Murji'ah Ekstrim), maka anda bisa memahami dengan baik :
· (Kenapa ???) mereka sangat gigih memperjuangkan aqidah; kekafiran itu
hanya karena istihlal semata, terlebih dalam kaitannya dengan realita
para pemerintah yang mengganti syariat Alloh Ta'ala dengan undang-undang
positif.
· (Kenapa ???) mereka menganut aqidah sekte sesat Jahmiyah (yang telah
dikafirkan oleh para ulama Ahlu Sunnah) supaya bisa menutup-nutupi
kemurtadan dan kekafiran para pemerintah murtad hari ini dengan selimut
syar'i...” (selesai penukilan sampai di sini)
Maka kita katakan kepada pembuat makalah ini : "Inikah yang melatar
belakangi kalian untuk menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji'ah?
Tidakkah kalian membuka mata Iebar-lebar untuk membaca ucapan para ulama
salaf tentang ketidakkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum
Alloh jika tidak diiringi oleh istihlal?!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang firman Alloh :
وَ مَا لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولـئِكَ هُمُ الكَافِرُوْن
“Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS.Al-Maidah : 44)
sebagai kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.”
Imam Abu Ubeid Al-Qosim bin Sallam rahimahullahu berkata : “Adapun
pemutus dan saksi atas semua ini adalah firman Alloh, “Barangsiapa yang
tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” Dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata : “Bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama.” Dan Atha’
bin Abi Robah berkata, “Kufrun Duna Kufrin” (Kekufuran yang tidak
mengkafirkan/kufur kecil).” Sungguh jelas bagi kita bahwa hal tersebut
tidak mengeluarkan dari Islam dan bahwasanya agamanya tetap berdiri
meskipun dilumuri dosa…”
Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata : “Yang benar bahwa berhukum dengan
selain hukum Alloh mencakup dua bentuk kekufuran, kufur kecil dan besar
sesuai dengan keadaan orang tersebut. Apabila dia masih meyakini
wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh pada suatu kejadian
dan dia menyimpang dari hukum Alloh dalam keadaan maksiat beserta
keyakinannya bahwa dia berhak mendapat sanksi maka ini kufur kecil. Tapi
jika dia meyakini tidak wajibnya berhukum dengan hukum Alloh, dan
bahwasanya dia diberi pilihan sedang dia meyakini itu hukum Alloh maka
ini termasuk kufur besar, tapi jika dia tidak tahu (hukum Alloh) dan dia
keliru maka hukumnya seperti hukum orang yang khilaf. Kesimpulannya :
Semua maksiat termasuk kufur kecil...”
Apakah mereka para ulama seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Atho'
bin Abi Robah rahimahullahu, Abu Ubeid Al-Qosim bin Sallam
rahimahullahu, Ibnul Qoyyim rahimahullahu dan selain mereka yang
menyelisihi kalian itu adalah Murji'ah karena tidak mengkafirkan orang
yang berhukum dengan selain hukum Alloh jika tidak ada istihlal???!!!
Mengapa kalian hanya mengkhususkan pengkafiran ini hanya kepada
pemerintah kaum muslimin saja? Bukankah ayat dalam surat Al-Maidah 44
tersebut umum mencakup siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum
Alloh?! Bukankah orang yang berbuat bid'ah dan yang berbuat maksiat itu
juga berhukum dengan selain hukum Alloh ?! Alloh berfirman :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَــؤُاْ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهِ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS.
Asy-Syuura : 21)
Bukankah kalian sendiri telah berhukum dengan selain hukum Alloh dengan mengkafirkan pemerintah kaum muslimin seenaknya saja?!
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُوْنَ
“Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”
(QS. Al-Qolam : 36)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Pewajiban dan
pengharaman, dosa dan pahala serta takfir (pengkafiran) dan tafsiq
(penfasikan) adalah hak Alloh dan Rasul-Nya saja. Tidak ada seorang pun
yang memiliki hak untuk menghukumi di dalamnya” .
Ibnu al-Qoyyim rahimahullahu berkata dalam Qosidah Nuniyah-nya:
الكٌفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهِ بِالنِّصِ يَثْبُتُ؛ لاَ بِقَوْلِ فُلاَنِ
مَنْ كَانَ رَبُّ العَالَمِيْنَ وَ عَبْدُهُ قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْالكُفْرَانِ
(Penetapan sesuatu) kufur adalah hak Alloh kemudian Rasul-Nya
Dengan penetapan nash bukan dengan ucapan si fulan
Barangsiapa yang oleh Robb semesta Alam dan Rasul-Nya
Dikafirkan maka dialah orang kafir
Kalau kalian mengkafirkan pemerintah kaum muslimin karena tidak berhukum
dengan hukum Alloh meskipun tidak diiringi oleh istihlal, maka mengapa
kalian tidak mengkafirkan orang yang berbuat bid'ah atau maksiat?! Dan
mengapa kalian tidak mengkafirkan orang tua dan saudara-saudara kalian
sendiri yang masih berbuat bid’ah dan maksiat?! Dan mengapa kalian tidak
mengkafirkan diri kalian sendiri yang juga masih berbuat bid’ah dan
maksiat?! Tapi memang kalian ingin menelusuri jejak Khowarij yang
membunuh Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, dengan alasan beliau
tidak berhukum dengan hukum Alloh.
Imam Al-Hafizh Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein Al-Ajurri rahimahullahu
berkata dalam kitabnya Asy-Syari'ah : “Diantara syubhat khowarij adalah
(berpegangnya mereka dengan-pent) firman Alloh “Barang siapa yang tidak
berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Alloh maka mereka itu adalah
orang-orang kafir”. Mereka membacanya bersama firman Alloh : “Namun
orang-orang kafir itu mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”
(Surat Al-An'am : 1). Apabila mereka melihat seorang hakim yang tidak
berhukum dengan kebenaran mereka berkata : Orang ini telah kafir dan
barangsiapa yang kafir maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Maka
mereka para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik.”
Al-Imam Al-Qodhi Abu Ya'la rahimahullahu berkata dalam masalah iman :
"Khowarij berhujjah dengan firman Alloh Ta’ala "Dan barang siapa yang
tidak berhukum dengan hukum Alloh maka mereka itu adalah orang-orang
kafir". Zhohirnya dalil mereka ini mengharuskan pengkafiran para
pemimpin-pemimpin yang zholim dan ini adalah perkataan khowarij padahal
yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah orang-orang yahudi.”
Abu Hayyan rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Khowarij berdalil
dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat kepada
Alloh itu kafir, mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash pada setiap
orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh bahwa dia itu kafir.”
Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullahu menukil perkataan dari
Al-Qusyairi rahimahullahu : "Madzhabnya khowarij adalah barangsiapa yang
mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Alloh maka dia
kafir.”
Dan siapakah yang kalian maksud dengan pemerintah kaum muslimin yang
telah kafir dan murtad itu?! SBY kah atau Raja Fahd atau Raja
Abdullah??? Jelaskan kepada umat dan umumkan bahwa aqidah kalian adalah
aqidah Khowarij yang gemar lagi hobi mengkafirkan pemimpin kaum
muslimin!!! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Mengatakan :
“Kelompok Khowarij adalah kelompok pertama yang mengkafirkan kaum
muslimin dan mengatakan kafir bagi setiap pelaku dosa. Mereka
mengkafirkan orang yang menyelisihi bid'ah mereka serta menghalalkan
darah serta hartanya.”
Para salaf menyebutkan bahwa diantara ciri ahli bid'ah adalah mencaci
maki atau melaknat pemimpin kaum muslimin, sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam Ahlu Sunnah lmam Al-Barbahari rahimahullahu di dalam kitabnya
Syarhus Sunnah : “Apabila engkau melihat seseorang melaknat pemimpin
kaum muslimin maka ketahuilah bahwa dia itu pengekor hawa nafsu (ahlu
bid'ah)...”
Ketahuilah wahai kaum Muslimin, bahwa pemikiran takfir seperti infah
yang mendasari adanya peledakan dan pengeboman di beberapa negeri Islam.
Maka berhati-hatilah dari pemikiran Khowarij ini dan dari
orang-orangnya!!!
Kemudian tanda kedua Murji'ah menurut ahli bid'ah sekarang adalah tidak
adanya pengkafiran terhadap orang yang meninggalkan sholat karena malas,
meski dia masih meyakini akan kewajibannya dan ini adalah jalan/metode
pendahulu mereka seperti yang telah disebutkan di atas.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Safar Hawali penulis kitab
Zhohiratul Irja' yang menuduh Syaikh Al-Albani sebagai Murji'ah. Dia
mengatakan : “Dan tidaklah yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan
sholat (karena malas,-pent) tidak kafir melainkan yang telah kemasukan
pemikiran Murji'ah, baik dia merasa atau tidak.”
Syaikh Al-Albani Sangat Jauh Dari Murji’ah
1. Aqidah beliau dalam masalah Iman
Beliau rahimahullahu berkata dalam ta'liq Aqidah Thohawiyah ketika
mengomentari ucapan Imam Thohawi rahimahullahu “Iman adalah ucapan
dilisan dan keyakinan dalam hati”, Syaikh Al-Albani rahimahullahu
berkata :
“Ini adalah aqidah Hanafiyah Maturidiyah yang berseberangan dengan salaf
serta jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza'i dan
selainnya. Mereka semuanya menambahkan amal perbuatan diatas ucapan dan
keyakinan. Bukanlah perselisihan antara kedua madzhab hanya perselisihan
yang abstrak (tidak ada wujudnya) seperti yang dikatakan oleh (Ibnu
Abil 'Izzi Al-Hanafi) dengan alasan mereka semua sepakat bahwa pelaku
dosa besar tidak keluar dari keimanan dan bahwasanya semua di bawah
kehendak Alloh, jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengadzabnya dan
jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengampuninya.
Sesungguhnya kesepakatan ini meskipun benar, namun seandainya madzab
Hanafi tidak menyelisihi jumhur dengan sebenar-benarnya penyelisihan
dalam pengingkaran mereka bahwa amal bukan termasuk Iman maka sungguh
mereka akan menyepakati bersama jumhur bahwa iman itu bisa bertambah
(dan bisa berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan sesuai dengan dalil dari Al-Qur'an dan sunnah serta atsar
para salaf. Sebagian dalil-dalil tersebut telah disebutkan oleh Imam
Ibnu Abil 'Izzi (hal.384-387) [344-342], akan tetapi madzhab Hanafi
bersikeras untuk menyelisihi dalil-dalil yang jelas tersebut dalam hal
bertambah dan berkurangnya iman. Mereka berusaha untuk menta'wilkan
dalil-dalil tersebut dengan ta'wil yang dipaksakan bahkan ta'wil yang
batil.
Imam Ibnu Abil 'Izzi menyebutkan pada hal.(385) [342] sebagian dari
ucapan mereka. Bahkan diriwayatkan dari Abi Mu'in An-Nasafi bahwa dia
mencela keabsahan hadits “iman memiliki 70 lebih cabang..." meskipun
para imam-imam hadits berhujjah dengan hadits tersebut diantaranya Imam
Bukhori dan Imam Muslim di dalam kedua kitab shohih mereka. Hadits
tersebut tercantum dalam Silsilah Shohihah no.1769.
Tidaklah hadits ini ditolak melainkan karena menyelisihi madzhab mereka!
Kemudian bagaimana mungkin perselisihan ini hanyalah perselisihan yang
abstrak, sedangkan mereka membolehkan bagi orang yang sangat fajir/fasik
diantara mereka untuk mengatakan : Imanku seperti imannya Abu Bakar
bahkan seperti imannya para nabi dan rasul, Jibril dan Mikail
-alaihimush sholatu was Salam!
Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan sedangkan menurut madzhab mereka
tidak boleh bagi seorangpun meskipun dia fasik/fajir untuk mengatakan :
saya mukmin insya Alloh Ta’ala. Bahkan mereka mengharuskan untuk
mengatakan : Saya mukmin dengan sebenar-benarnya!
Alloh Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat
dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka
akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezki (ni'mat) yang mulia.” (QS.Al-Anfal : 2-4)
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh?” (QS. An-Nisa' : 122)
Berdasarkan hal ini semua mereka tenggelam dalam kefanatikan mereka.
Mereka menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengatakan saya mukmin insya
Alloh maka dia telah kafir. Tidak cukup di sini saja, bahkan mereka
menyatakan bahwa tidak boleh bagi seorang yang bermadzhab Hanafi untuk
menikah dengan perempuan dari madzhab Syafi’i! Tapi sebagian mereka
membolehkan dengan alasan seperti ahli kitab (yang dibolehkan bagi
seorang muslim mengawini perempuan-perempuan mereka).
Dan saya pernah kenal seorang dari syaikh madzhab Hanafi yang putrinya
dilamar oleh salah seorang syaikh madzhab Syafi’i namun lamarannya
ditolak dengan mengatakan: Seandainya anda bukan dari madzab Syafi’i!
Apakah setelah penjelasan seperti ini masih ada keraguan bahwa
perselisihan ini bukan sembarangan? Barangsiapa yang ingin perincian
dalam masalah ini silahkan lihat kembali kitab Al-Iman karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu karena kitab ini merupakan kitab
terbaik dalam pembahasan tentang iman.” (selesai penukilan ucapan Syaikh
Al-Albani rahimahullahu)
Beliau rahimahullahu juga berkata ketika membantah salah seorang yang mencela Musnad Ahmad rahimahullahu :
“Sesungguhnya orang ini bermadzhab Hanafi dan beraqidah Maturidi. Telah
diketahui bersama bahwa mereka tidak mengatakan seperti apa yang ada
dalam Al-Qur'an dan sunnah serta atsar para sahabat bahwasanya iman itu
bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya amal termasuk bagian
dari keimanan. Ini adalah aqidah jumhur ulama salaf dan kholaf selain
madzhab Hanafi. Mereka (orang madzhab Hanafi) bersikeras untuk
menyelisihi salaf dalam masalah ini bahkan sebagian mereka menyatakan
bahwa aqidah seperti di atas adalah aqidah kufur dan murtad -wal 'iyadzu
billah-.
Disebutkan dalam kitab Al-Bahru Ar-Roo`iq bab Al-Karohiyah (VIII/205)
oleh Ibnu Najim Al-Hanafi bahwasanya “iman tidak bisa bertambah dan
tidak bisa berkurang karena iman menurut kami bukan bagian dari amal.”
Ini jelas-jelas menyelisihi hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ditanya :
“Amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab : “Iman kepada Alloh dan
Rasul-Nya...” (HR. Bukhori dan selainnya. Bisa dilihat dalam At-Targhib
II/107).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memperinci masalah keberadaan iman
merupakan bagian dari amal dan bahwasanya iman itu bertambah dan
berkurang dalam kitab beliau Al-Iman. Silahkan lihat.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan "Inilah yang selalu aku katakan sejak
lebih dari 20 tahun yang lalu untuk menguatkan madzhab salaf dan aqidah
Ahlu Sunnah -walillahi al-hamdu- tentang masalah iman. Tapi sekarang
tiba-tiba muncul sebagian orang yang bodoh lagi ingusan yang menuduh
kami sebagal Murji'ah !! Kepada Allohlah kami mengadukan kebodohan,
kesesatan dan kejahatan mereka.” (selesai sampai di sini ucapan Syaikh
Al-Albani)
Inilah aqidah Syaikh Al-Albani rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman
itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya iman itu bercabang.
Beliau juga membolehkan istitsna' dan bahwasanya amal termasuk bagian
dari keimanan. Dari sini beliau telah mendapat rekomendasi (secara logis
konsekuensi) dari para imam-imam salaf seperti Abdullah bin Mubarok,
Ahmad bin Hanbal, dan Imam Al-Barbahari – rahimahumullahu jami’an-
bahwasanya beliau telah terlepas dan selamat dari Murji'ah mulai awal
sampai akhir. Bahkan beliau adalah bumerang bagi Murji'ah. Oleh
karenanya beliau mentahqiq kitab-kitab yang menguatkan aqidah salaf ini
seperti Kitabul Iman karya Ibnu Abi Syaibah, Kitabul Iman karya Abu
Ubeid dan Kitabul Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –
rahimahumulahu jami’an-.
Di dalam majelis ta'lim pernah dibacakan kepada beliau fatwa Syaikh
Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu tentang pengkafiran orang yang
mencela dan memperolok (Alloh, Rasul dan agama-Nya –pent.) lalu
beliaupun menguatkannya dan bahwasanya inilah yang juga beliau yakini.
Dan didalam majlis ta'lim yang sudah dikenal antara Syaikh rahimahullahu
dengan penulis ini (i.e. Syaikh Kholid Al-Anbari -hafizhahullahu-),
beliau dengan jelas, menyatakan bahwa kekufuran itu bisa dengan
perbuatan seperti sujud kepada berhala, membuang mushaf di tempat kotor,
dan bisa juga dengan ucapan seperti memperolok dan mencela Alloh dan
Rasul.
Beliau juga menyatakan bahwa kekufuran itu ada enam macam, yaitu :
1. Takdzib (pendustaan dengan hati dan lisan).
2. Juhud (pendustaan dengan lisan saja).
3. ‘Inad (menentang).
4. I’rodh (berpaling).
5. Nifaq (munafik).
6. Syak (Ragu)
Beliau menyatakan bahwa Murji’ah adalah orang-orang yang menyatakan
bahwa kufur itu hanyalah takdzib saja. Murji'ah mengatakan bahwa setiap
orang yang dikafirkan Alloh adalah yang tidak ada pembenaran dalam
hatinya tentang Alloh Ta'ala.
Adapun masalah apakah kafir atau tidakkah orang yang meninggalkan jinsul
(jenis) amal atau aahadul (individu) amal? maka Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al-Utsaimin berkata "Siapakah yang mengatakan kaidah seperti
ini?! Apakah Alloh dan Rasul-Nya?! ini adalah ucapan yang tidak
bermakna! Kita katakan : Barangsiapa yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya
maka dia yang disebut orang kafir dan barangsiapa yang tidak dikafirkan
oleh Alloh dan Rasul-Nya maka dia bukan orang kafir. Inilah yang benar.
Adapun masalah jinsul amal atau na'ul (macam) amal serta aahadul amal
maka ini hanyalah filsafat yang tidak ada manfaatnya.” Kalau ada yang
mengatakan bahwa kafir orang yang meninggalkan jinsul amal maka
bagaimana pendapatnya tentang hadits syafaat Alloh bagi orangorang yang
tidak beramal kebaikan sama sekali?”
Demikian pula dengan masalah apakah amal termasuk syarthul kamal (syarat
kesempurnaan) ataukah syarthus shihah (syarat sahnya iman), maka ini
juga termasuk masalah yang muhdats (baru) yang tidak pernah dikatakan
oleh para ulama salaf, yang ada dari mereka -para salaf- adalah amal
termasuk bagian dari iman.
Adapun kalau ada yang membawa ucapan salaf (Iman adalah ucapan,
perbuatan dan niat. Salah satu dari ketiganya tidak sah (mencukupi)
kecuali dengan adanya yang lain) untuk menyatakan bahwa amal adalah
syarat sahnya iman dan kafir orang yang meninggalkan jinsul amal, maka
apakah orang yang tidak berniat dalam berucap atau berbuat itu kafir?!
dan kafirkah orang yang beramal, dan berucap serta berniat namun tidak
sesuai dengan sunnah seperti ungkapan sebagian salaf tentang iman?!
Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada
juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin
Hasan –hafidzahullahu- akan syubhat ini : “Terkadang ada didalam ucapan
Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu dengan juhud dan takdzib! Maka
sebagian orang memahami bahwa Syaikh rahimahullahu menyempitkan
kekufuran hanya pada juhud atau takdzib saja dan meniadakan macam-macam
kekafiran yang lainnya seperti kufur iba'/istikbar (sombong), imtina'
(menolak), syak, nifak dan selainnya.”
Pemahaman mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu ini batil karena
penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan
selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut
berlandaskan kebanyakan atau mayoritas. Penyebutan seperti ini juga
pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam
Majmu 'Fatawa (III/354) : "Asal kekufuran itu ada pada pengingkaran
kepada Alloh." Apakah dengan ini kita mengatakan bahwa beliau
menyempitkan kekufuran hanya pada pengingkaran semata ?!
Demikian pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz
Dzimmah (III/1156) : “Kekufuran itu ada pada juhud.” Apakah akan kita
katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!
Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah
Syaikh Kholil Harros rahimahullahu :
الكُفْرُ لَيْسَ سِوَى اْلعِنَادِ وَرَدِّ مَا جَاءَ الرَّسُوْلُ بِهِ لِقَوْلِ فُلاَنِ
Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan 'inad/penentangan dan menolak
apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang
Ucapan yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh
Abdurrohman As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) :
“Telah disebutkan oleh para ulama -rohimahumullahu- perincian hal-hal
yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan semua itu
kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul
baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.” Apakah kita akan mengatakan
bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!
Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan
menjelaskan semua ini dalam Majmu' Fatawa (XX/98) tentang orang yang
meninggalkan sholat : "Barangsiapa dari kalangan fuqoha' yang
memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhudl menentang
kewajibannya maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup
takdzib akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya…”
Lantas, apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan
Syaikh Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an- adalah Murji'ah
karena ucapan mereka itu?!
أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS. Al-Baqoroh : 44)
2. Rekomendasi ulama Ahlu Sunnah akan aqidah Syaikh Al-Albani
Al-'Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu pernah
ditanya sebagai berikut : “Sebagian orang menebarkan syubuhat tentang
aqidah al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani hafizhahullahu
dan mereka menisbatkan kepada beliau sebagai kelompok sesat seperti
Murji’ah. Apa ucapan (nasehat) Anda terhadap mereka?”
Beliau rahimahullahu menjawab : “Syaikh Nashiruddin Al-Albani termasuk
saudara-saudara kita ahli hadits yang terkenal dari kalangan ahli sunnah
wal jama'ah. Kita mohon kepada Alloh semoga Dia selalu memberikan
kepada kita dan beliau taufiq serta pertolongan di atas kebaikan. Yang
wajib bagi setiap Muslim adalah selalu bertakwa kepada Alloh dan merasa
takut kepada Alloh (dari menuduh) para ulama dan janganlah dia berbicara
kecuali diatas ilmu.”
Al-‘Allamah Faqiihuz Zaman Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin
rahimahullahu pernah ditanya : “Berkata sebagian orang : Sesungguhnya
Syaikh Al-Albani rahimahullahu ucapannya dalam masalah iman adalah
ucapan Murji'ah. Bagaimana menurut pendapat anda ?”
Beliau rahimahullahu menjawab : “Aku katakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan oleh orang terdahulu :
أَقِلُّوْا عَلَيْهِمْ لاَ أَبَا لِأَبِيْكُمْ مِنَ اللَّوْمِ أَوْ سَدُّ المَكَانَ الَّذِيْ سَدُّ
Tinggalkan segala celaan terhadap mereka
atau berbuatlah (kebaikan) sebagaimana mereka telah berbuat
Syaikh Al-Albani rahimahullahu adalah seorang alim ahli hadits dan
faqih, meskipun lebih kuat ahli haditsnya dari faqih. Saya tidak pernah
selamanya mendapatkan beliau memiliki ucapan yang menunjukkan bahwa
beliau Murji'ah. Akan tetapi orang-orang yang ingin mengkafirkan manusia
(kaum muslimin) menuduh beliau dan yang semisal beliau dengan tuduhan
murji'ah! Ini semuanya hanyalah pemberian gelar yang buruk. Dan saya
bersaksi akan keistiqomahan Syaikh Al-Albani rahimahullahu serta
kebaikan aqidah dan keikhlasan beliau. Meskipun demikian kita tidak
mengatakan bahwa beliau tidak pernah bersalah karena tidak ada seorang
pun yang tidak bersalah melainkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
Beliau rahimahullahu juga berkata : “Barangsiapa yang menuduh Syaikh
Al-Albani dengan Murji'ah maka dia telah keliru. Mungkin orang itu tidak
tahu siapa Syaikh Al-Albani atau mungkin dia tidak tahu tentang siapa
Murji'ah!! Syaikh Al-Albani adalah ahli sunnah rahimahullahu, pembela
sunnah, imam dalam ilmu hadits, kita tidak mengetahui seorangpun yang
menandingi beliau pada zaman ini. Akan tetapi sebagian orang -kita mohon
kepada Alloh keselamatan- ada di dalam hatinya rasa hasad, jika melihat
ada orang yang diterima oleh manusia diapun bersegera mengolok-oloknya
seperti perbuatan orang-orang munafik
“(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin
yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang
tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya”
(QS. At-Taubah:79)
Beliau rahimahullahu telah kita kenal lewat buku-buku beliau dan aku
juga mengenal terkadang lewat majlis-majlis beliau. Beliau adalah salafi
dalam aqidah dan selamat manhajnya. Akan tetapi sebagian orang yang
ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal-hal yang tidak Alloh
kafirkan mereka dengannya menuduh dengan kedustaan dan kebohongan bahwa
orang yang menyelisihi mereka dalam pengkafiran adalah Murji'ah. Oleh
karena itu janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun
juga.” (Selesai ucapan beliau)
Al-'Allamah Ahli Hadits Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad
-hafidzahullahu- berkata : “Syaikh Al-Albani seorang alim besar, ahli
hadits terkenal, pembela sunnah, aqidah beliau benar dan beliau memiliki
perjuangan dalam aqidah. Kitab-kitab beliau tentang aqidah semuanya
selamat dan tidak ada seorang penuntut ilmu pun yang bisa lepas dari
ilmu dan kitab-kitab beliau.”
Al-‘Allamah asy-Syaikh At-Tuweijiri rahimahullahu berkata “Syaikh
Al-Albani adalah pembela sunnah, mencela Syaikh Al-Albani berarti
mencela sunnah.”
Sungguh indah dan benar apa yang dikatakan oleh Abu Mu'awiyah Ali bin
Ahmad bin Suuf –hafidzahullahu- : “Cukuplah Alloh sebagai pelindung dan
penolong kami, Bagaimana bisa orang yang selama hidupnya memerangi
bid'ah (Murji'ah-pent) dan para pelakunya dituduh sebagai Murji'ah?! Dan
bagaimana bisa dikatakan orang itu berada di atas bid'ah sedang seluruh
hidupnya selalu bersama sunnah?! Setiap orang yang melihat Imam
(Al-Albani) dengan kedua matanya dia pasti akan melihat sendiri sunnah
berjalan di atas bumi ini di dalam ucapan, pakaian dan gerak-gerik
beliau. Akan tetapi orang-orang bodoh tidak bisa diam.Tidaklah
karya-karya besar yang menghabiskan usia beliau dalam meneliti
keshohihan hadits dari kelemahannya seperti Silsilah Shohihah dan
Dho'ifah dan selainnya melainkan bukti yang paling konkret bahwa beliau
tidaklah menyelisihi manhaj salaf dalam prinsip yang agung ini (masalah
iman-pent).” (selesai di sini ucapan beliau)
Orang yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji’ah atau tuduhan yang lainnya ibaratnya seperti yang dikatakan seorang penyair:
لاَ يَضُرُّ الْبَحْرَ أَمْسَى زَاخِرًا أَنَّ رَمَى فِيْهِ غُلاَمٌ بِحَجَرِ
Tidaklah memadharatkan samudera yang luas
Jika seorang anak kecil melemparinya dengan batu kerikil
كَنَاطِحِ صَخْرَةٍ يَوْمًا لِيُوْهِنَهَا فَلَمْ يَضُرُّهَا وَأَوْهَا قَرْنَهُ الْوَعِلُ
Seperti kambing hutan yang menanduk batu besar untuk meruntuhkannya
Tapi dia tidak bisa memadharatkannya dan kambing itu merusak tanduknya sendiri
Ada Apa dengan Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari
Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak
selamat dari tuduhan Murji'ah yang dilontarkan oleh para harokiyyin,
sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Ambari -hafidzahumallohu-.
Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lajnah Daimah yang juga
ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam
beberapa kitab kedua Syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji'ah.
Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh
dari pemikiran Murji'ah. Mereka adalah masyayikh Ahlu Sunnah yang jauh
dari pemikiran Murji'ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits
khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali
bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban terhadap fatwa Lajnah Daimah
tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan
dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.
Adapun Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafidzahullahu-, maka dalam
menanggapi fatwa Lajnah Daimah serta tuduhan Murji'ah ini beliau banyak
menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa saja yang hatinya masih
bersih, akan jauhnya beliau dari Aqidah Murji'ah. Maka barangsiapa yang
telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji'ah atau sebagian buku
beliau ada pemikiran Murji'ah hendaklah membaca kitab-kitab berikut ini
agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata:
Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah 'Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta'rif Wat
Tanbi`ah, At-Tanbihaat al-Mutawaa`imah, Al-Hujjah Al-Qo`imah ‘ala Fatwal
Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa' dan lain-lain.
Diantara yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Da`imah
adalah: "Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan kedudukannya,
bisa diterima dan bisa ditolak serta kemungkinan bisa salah bisa benar,
maka saya ingin menulis sebuah dialog ilmiah yang ringkas untuk
menjawab fatwa lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya
sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi
jalan kebenaran. Semoga rahmat Alloh bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin
Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata :
"Wajib bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila membaca
kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka
agar dia menimbangnya dengan Al-Qur'an dan sunnah. Karena setiap
mujtahid dari kalangan para ulama dan yang mengikuti mereka serta yang
menisbatkan diri kepada mereka haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran
hanya satu dalam setiap permasalahan dan para imam-imam itu diberi
pahala akan ijtihad mereka. Orang yang bijak ketika membaca ucapan
mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk
mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan
melihat dalil-dalilnya...” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya
dengan penuh hormat terhadap para masyayyikh yang mulia dan semoga
ucapanku dan dialog ini -insya Alloh- sesuai dengan apa yang ada dalam
hati kami dari penghormatan terhadap mereka...” . (Selesai ucapan
beliau)
Terlebih lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim robbani
faqiihul ummah yang juga anggota kibarul ulama serta anggota Lajnah
Daimah yaitu Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin
rahimahullahu. Inilah pendapat beliau tentang fatwa tersebut : "Ini
adalah suatu kesalahan dari lajnah dan aku merasa terganggu dengan
adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh
negeri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun
Eropa. Tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan
takfiriyun (tukang mengkafirkan) dan tsauriyun (para pemberontak)."
Beliau juga berkata : "Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena
membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar
tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan.” (selesai
ucapan syaikh)
Dan renungkanlah -wahai saudaraku ucapan emas dari seorang ahli ushul
serta imam dan khotib Masjidil Rasul; Fadhilatusy Syaikh Husein bin
Abdul Aziz Alu Syaikh -hafidzahullahu-. Beliau pernah ditanya :
"Fadhilatusy Syaikh - jazakumullahu khoiron- : Apa pendapat Anda tentang
fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da`imah seputar dua kitab Syaikh Ali
bin Hasan -hafidzahullahu- “At-Tahdzir” dan “Shoihatu Nadzir”, bahwa
kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji'ah, bahwasanya amal
bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas
sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurnanya iman?!"
Beliau menjawab :
“Pertama-tama : wahai saudaraku! Syaikh Ali dan Masyayikh di atas manhaj
yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para
masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka
dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena
Alloh -pent). Syaikh Ali telah diberi oleh Alloh ilmu dan pengetahuan
-wa lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara
beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini -alhamdulillah- masih di tengah
perjalanan menuju titik terang kebenaran.
Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang di atas
manhaj sunnah tidak diragukan lagi -walillahil hamdu- berada diatas
manhaj yang diridhoi. Dan Syaikh Ali sendiri -walillahil Hamdu-termasuk
yang membela manhaj Ahli sunnah wal jama'ah.
Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji'ah dan ini tidak
mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan
berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari
munculnya fatwa ini untuk menvonis syaikh sebagai Murji’ah, maka aku
tidak faham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak
memahaminya seperti itu. Mereka para Masyaikh sangat menghormati dan
menghargai beliau.
Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab
"Al-Ajwibah AI-Mutalaaimah ‘ala fatwal Lajnah Daimah" sebagaimana yang
dilakukan oleh salafush sholeh. Tidaklah ada diantara kita seorang pun
melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu
‘alaihi wa Salam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu :
كُلُّ كَلاَمٍ مِنْهُ ذُوْ قَبُوْلٍ وَمِنْهُ مَرْدُوْدٌ سِوَى الرَّسُوْلِ
Semua ucapan kadang bisa diterima
dan terkadang bisa ditolak kecuali Rasul
Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima
ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat
pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat
radhiyallahu ‘anhum juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar
dan Umar dan selain mereka dari kalangan para sahabat.
Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak
menghukumi Syaikh Ali Murji'ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah
suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Alloh selalu
memberinya taufiq- ketika menulis “Al-Ajwibah al-Mutala`imah” setelah
munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah, namun hanya sekedar
menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani
rahimahullahu. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan
guru beliau Syaikh Albani rahimahullahu amat jauh sekali dari pemikiran
Murji'ah seperti yang telah aku katakan dahulu.
Syaikh Ali misalnya kalau aku tanya tentang apa itu iman? demikian juga
dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari
ucapan mereka yang berbau Murji'ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk
bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu
jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan
dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan.
Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa
lajnah bukan seperti yang didangungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh
Ali itu Murji'ah. Sekali-kali tidak, mereka para Masyayikh tidak
mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut.
Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih
sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah.
Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan
tetapi bagian kecilnya saja.
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia
termasuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar
akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh
Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh
tetap seperti itu.
Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dan dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatus
Syaikh mengajar di kuliah Syariah tahun 1406 H, beliau selalu menyebut
nama Syaikh dengan pujian dan doa.
Syaikh Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabiah dipersatukan oleh
satu hal yaitu manhaj salafush sholeh. Seandainya kita bersatu diatas
hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah-belah. Akan tetapi inilah
perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.
Adapun kalau ada orang ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan
bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka
meninggalkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli
bid'ah.” (Selesai jawaban beliau sampai di sini)
Demikian pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari
-hafizhahullahu- yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa
lajnah yang mencekal buku beliau “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu”.
Padahal beliau termasuk masyayikh Dakwah Salafiyah yang gigih
memperjuangkan aqidah ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta
hizbiyah dan amat jauh dari Murji'ah. Terlebih kitab beliau tersebut
telah mendapat pujian dari para ulama semisal Syaikh Nashiruddin
Al-Albani rahimahullahu, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin
rahimahullahu dan Syaikh DR. Sholeh bin Ghonim Sadlan hafizhahullahu,
Dosen pasca sarjana di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud.
Adapun pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu maka beliau mengatakan :
“Saudara Kholid bin Ali Al-Anbari telah menghadiahkan kepadaku kitab
karangannya "Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu” dan aku meodapati kitab
tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan
penjelasan.”
Syaikh Sholeh bin Ghonim as-Sadlan hafizhahullahu berkata : “Aku
mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari yang
berjudul “al-Hukmu bighoyri ma anzalallahu”… telah menepati judulnya
dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya salafush
shalih dalam segala permasalahannya. Semoga Alloh menganu-gerahkan
kepada beliau pahala akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan
semoga Alloh memberikan manfaat lewat kitab beliau ini, kaum muslimin
baik para ulama, cendekiawan, masyaikh, penuntut ilmu, para dai maupun
masyarakat umum.
Beliau memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar
yang mengeluarkan dari Islam, berupa kufur takdzib, juhud, ‘inad,
i'rodh, syak dan nifaq. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dengan
keyakinan, ucapan maupun amal perbuatan. Beliau juga menyinggung tentang
kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan hanya pada kufur takdzib
di dalam hati saja.
Beliau juga berkata, bahwa kitab ini ditulis dengan metode ilmiah yang
kokoh, tidak ada caci maki maupun celaan yang buruk. Kitab ini amat
spesial di dalam pembahasannya. Dan penulis di dalam masalah perincian
hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh telah sesuai
pendapatnya dengan pendapat Samahatul Walid Mufti Kerajaan Arab Saudi
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz , Fadhilatus Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.” (selesai
ucapan beliau)
Fatwa lajnah ini pun juga ditentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya
tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan
takfiriyin dan tsauriyin (revolusionis). Begitu juga dengan Syaikh
Sholeh As-Sadlan yang tidak bisa menerima fatwa tersebut.
Syaikh Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah
yang berjudul “Al-Maqoolaat Al-Anbariyah fi Tahkiimil Qowaaniin
Al-Wadh'iyah”, diantaranya beliau mengatakan : "Tidak tersembunyi lagi
bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak Alloh dan
Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon kepada anda
sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar'i mengenai keputusan
Lajnah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab
(Al-Hukmu..) yang telah terbit sejak lima tahun yang lalu…”
Maka di sini penulis menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan
isu atau syubhat bahwa buku Syaikh Kholid ini berada diatas manhaj
Murji'ah agar dia membaca sendiri buku tersebu dan meneliti manakah
pemikiran Murji'ah yang dituduhkan itu!!! Demikian pula yang menuduh
Syaikh Kholid Murji'ah agar dia membaca karangan Syaikh Kholid yang
berjudul Murjiatul Ashr (Murji’ah abad ini). Buktikan apakah beliau
Murji'ah atau malah sebaliknya membantah Murji'ah!!!
Jika demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji'ah atau Jahmiyah?I
“Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada
waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Alloh. Kemudian masing-masing
diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. AI-Bagarah :
281)
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. AI-Fajr : 14)
Begitu jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali
Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji'ah, namun masih ada
saja orang yang buta akan hal ini.
الْحَقُّ شَمْسٌ وَالْعُيُوْنُ نَوَاظِرُ لَكِنَّهَا تَخْفَى عَلَى الْعَمْيَانِ
Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
أَصَمَّكَ سُوْءُ فَهْمِكَ عَنْ خِطَابِيْ وَأَعْمَاكَ الضَّلاَلُ عَنْ اهْتِدَاءِ
Kejelekan pemahamanmu membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku
Sebagai penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor
spesialis kelompok-kelompok sempalan, Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim
Al-Aql -hafizhahullahu- :
"Tidak semua orang yang dituduh Murji'ah dia benar Murji'ah. Terlebih di
zaman ini, karena tukang-tukang pengkafiran dan orang-orang ekstrim
dari kalangan Khowarij atau yang seperti mereka yang bodoh akan
kaidah-kaidah salaf tentang vonis, menuduh orang yang menyelisihi mereka
dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji'ah. Dan
kebanyakan yang digembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan
selain hukum Alloh dan masalah wala' serta baro'.
Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah
ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian
penuntut ilmu yang sudah tinggi keilmuaannya ketika menulis masalah
takfir pada zaman ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah
yang juga diperselisihkan oleh salaf dengan tuduhan Murji'ah. Padahal
permasalahannya jika diteliti kembali tidak termasuk prinsip Murji'ah.”
Wallahu Ta'ala A'lam
Sumber
http://elilmu.blogspot.com/2011/05/dakwah-salafiyah-bukan-murjiah.html