Sabtu, 10 November 2012

Praktek Membuat Pola dan Menjahit Setelan Jubah-Jilbab Anak Balita

Praktek Membuat Pola dan Menjahit Setelan Jubah-Jilbab Anak Balita

Salah satu cara membiasakan anak memakai jilbab syar’i ketika keluar rumah adalah memakaikannya baju yang praktis dan nyaman.. Seperti putri ana Shofiyyah.. alhamdulillah bila keluar rumah sudah bisa memakai sendiri jubah dan jilbabnya..(meski kadang masih kebalik..).
Sejak berumur 1 tahun ana sudah membuatkannya jubah dan jilbab seperti akhwat pada umumnya…Jubah dengan kain tidak bermotif, warna yang tidak mencolok/gelap,dll. Tapi bedanya jubah Shofiyyah tanpa lengan…Keuntungannya adalah jubah ini bisa diberi dalaman kaos lengan panjang dari bahan kaos atau katun yang tidak panas..dan juga praktis cara pakainya.Jika ia hendak keluar rumah bisa ia pakai sendiri dengan mudah.
Adapun jilbabnya adalah jilbab bundar panjang yang juga sangat mudah dipakai sendiri oleh anak kecil. Menjahitnya pun sangat mudah dan bisa dipraktekkan bagi ummahat yang masih pemula dan baru belajar menjahit…
Berikut langkah-langkah membuat jubah dan jilbab anak balita yang praktis dan nyaman :
Membuat ukuran
Langkah yang pertama adalah membuat ukuran baju yang akan dijahit.
Ukuran yang diperlukan dalam membuat jubah anak ini adalah sebagai berikut :
  1. Lingkar badan
  2. Lingkar pinggang
  3. Panjang punggung
  4. Lebar Punggung
  5. Lebar dada
  6. Lebar bahu
  7. Panjang jubah
Untuk cara mengukur silakan baca artikel Pola Dasar Jubah Akhwat.
Membuat pola dasar :
Setelah melakukan pengukuran langkah selanjutnya adalah membuat pola dasar jubah. Pola dasar jubah anak juga tidak serumit jubah untuk dewasa. Pola depan dan pola belakang tidak dibedakan seperti pola baju dewasa. Berikut contoh pola dasar jubah anak beserta ukurannya :
  1. Lingkar badan = 64 cm
  2. Lingkar pinggang = 56 cm
  3. Panjang punggung = 24 cm
  4. Lebar punggung =  24 cm
  5. Lebar dada = 23 cm
  6. Lebar bahu = 8 cm
  7. Panjang jubah = 75 cm
Pola Dasar
Ukuran ini adalah untuk anak berusia kurang lebih 2,5-3 th dengan badan ideal (tidak kurus atau gemuk), dan tinggi sekitar 95 cm. Buatlah sudut siku-siku : B : A : G
A-B = ¼ lingkar badan = 16 cm
A-C = B-E = panjang jubah = 75 cm
C-E = A-B 16 cm
A-F =1/4 (A-B) + 1 ½ cm = 5 ½ cm
A-D = turun 1 ½ cm
Hubungkan titik D-F menjadi kerung leher belakang
A-G = ¼ (A-B) + 2 cm = 6 cm
Hubungkan titik G-F menjadi kerung leher belakang
B-H = turun 2 ½ cm
F-I = lebar bahu = 8 cm
D-K = panjang punggung = 24 cm
D-L = ½ D-K = 12 cm
D-M = ½ D-L = 6 cm
G-S = ½ G-L = 3 ½ cm
M-O = ½ lebar punggung = 12 cm
Hubungkan titik I-O-N menjadi kerung lengan
K-P = ¼  lingkar pinggang = 14 cm
S-T = ½ lebar dada = 23 cm
E-Q = 5 cm
Titik Q naik 1 ½
Jadi pola depan dan pola belakang adalah sama, yang membedakan adalah kerung leher. Kerung leher bagian depan adalah garis F-G dan kerung leher bagian belakang adalah garis F-D.
Merubah pola dasar sesuai model baju yang diinginkan
Setelah itu kita membuat pola baju sesuai modelnya dengan melakukan perubahan pada pola dasar tersebut.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa jubah yang akan ana jahit adalah jubah tanpa lengan. Modelnyapun sangat sederhana yaitu model seperti longdress tanpa resleting atau kancing. Hal ini untuk memudahkan bagi anak memakai sendiri jubah mereka..
Berikut perubahan pola jubah yang akan ana jahit dari pola dasarnya :
F-F’ = 2 cm
I-I’ = 1 cm
G-G’ = 3 cm
D-D’ = 4,5 cm
N-N’ =  4 cm
Q-Q’ =  18 cm
Pola Jubah Shofiyyah
Pola Jubah Shofiyyah
Setelah itu gunting pola jubah tersebut sebagai pola jubah bagian belakang (titik D’-C-Q’-N’-F’-I’)
Lalu gunting pola bagian depan dengan cara menjiplak pola yang tadi tapi bedanya yang kita gunting adalah titik (G’-C’Q’-N’-F’-I’).
Jadi kini kita memiliki dua pola yaitu pola jubah bagian depan dan belakang secara terpisah.
Menggunting
Setelah pola jubah tersebut dibuat maka langkah selanjutnya adalah menggunting pola tersebut di atas kain. Kain yang kita beli biasanya mempunyai lebar kain yang bermacam-macam. Ada yang 115 cm, 150 cm, dan ada pula yang lebarnya 2 m. Kain yang ana pakai disini adalah kain yang lebarnya 150cm. Untuk membuat jubah anak tanpa lengan dengan ukuran diatas dan kain lebar 150 cm ini, kita cukup membeli kain sepanjang 75 cm saja.Langkah-langkahnya adalah sbb :
1. Bentangkan kain berukuran 150 x 75 cm ini seperti gambar berikut :2. Lipat jadi dua lalu gunting
3. Setelah jadi dua lalu masing-masing dilipat jadi dua lagi dan letakkan pola bagian depan dan belakang pada masing-masing potongan kain seperti pada gambar:4. Beri jarum pentul agar tidak bergeser
5. Dari pola tersebut lebihkan 1cm pada setiap pinggirnya untuk stan jahitan dan beri garis dengan kapur jahit
6. Gunting pola tersebut dengan lebihan 1 cm tersebut, hasilnya : 
7. Tandai/ garis setiap pinggir dari pola tersebut dengan menggunakan rader dan karbon jahit
Menjahit
Pertama-tama tempelkan pola depan dan belakang, lalu beri jarum pada bahu dan bagian samping jubah. Lalu jahit bahu kanan dan kiri, dan bagian samping jubah kanan dan kiri. Setelah itu diobras.
Untuk leher : di beri plisir, bisa dengan bisban atau membuat plisir sendiri dengan cara : Memotong kain secara serong lebar 2 cm panjang sesuai panjang kerung leher, lalu jahit melingkari leher.
Untuk kerung lengan : diobras dulu lalu dijahit ke dalam
Untuk bagian bawah jubah : dineci
Berikut gambar jubah setelah jadi :
Membuat jilbab
Potonglah kain dengan bentuk persegi panjang dengan ukuran:
  • Panjang : 130 cm
  • Lebar : 80 cm
Dan langkah selanjutnya seperti langkah membuat jilbab bundar pada artikel di blog ini yang telah lalu (klik disini).
Demikian cara membuat jubah dan jilbab anak dari ana..semoga bermanfaat bagi antunna…!!

Dakwah Salafiyah Bukan Murji'ah

Dakwah Salafiyah Bukan Murji'ah
الدعوة السلفية ليست المرجعة
Dakwah Salafiyah Bukan Murji’ah
Oleh : Al-Ustadz Abu’Abdirrahman bin Thayyib, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
Pada akhir-akhir ini banyak sekali tuduhan-tuduhan miring yang dilontarkan kepada Dakwah Salafiyah yang mubarokah, terutama oleh para aktivis gerakan (harokah termasuk adanya gerakan Khowarij Kontemporer) yang merasa telah banyak dibongkar kedok mereka oleh dakwah ini. Dan yang paling banyak atau sering mendapat tuduhan tersebut adalah Al-'Allaamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu beserta murid-murid beliau -hafizhahumullahu-.
Dan ini merupakan suatu kebiasaan ahli bid'ah sejak zaman dahulu sampai sekarang untuk menjauhkan umat dari para ulama Robbaniyyin yang berdakwah kepada tauhid serta menebarkan sunnah dan membasmi syirik serta bid'ah. Hal ini seperti yang telah dialami oleh Dakwah Salafiyah yang dijalankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu yang dituduh dengan berbagai macam celaan, bahkan sebagian orang awam yangl termakan syubhat-syubhat mereka ketika mendengar gelar wahabi Iangsung merinding dan lari ketakutan.
Diantara tuduhan yang sekarang lancar disebarkan adalah tuduhan bahwa Dakwah Salafiyah adalah Dakwah Murji'ah. Padahal kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan membersihkan hati, sungguh mereka akan banyak beristighfar dan bertobat dari semua tuduhan ini.
Siapakah Murji'ah menurut Ulama Salaf?
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata : “Adapun Murji'ah mereka mengatakan iman hanyalah ucapan tanpa amal per buatan, barangsiapa yang bersyahadat Laa ilaha illa Allohu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu maka dia telah sempuma keimanannya. Imannya seperti imannya Jibril dan para malaikat meskipun dia membunuh (orang yang haram darahnya-pent) dia tetap dikatakan sebagai mukmin, dan meskipun dia meninggalkan mandi janabat serta tidak sholat. Mereka juga menghalalkan darah kaum muslimin. "
Waki' bin Jarroh rahimahullahu berkata “Ahlu Sunnah mengatakan bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Adapun Murji’ah mengatakan bahwa iman adalah ucapan belaka tanpa perbuatan. Sedangkan Jahmiyah mengatakan iman hanyalah ma’rifah (pengenalan).”
Fadhl bin Ziyad rahimahullahu berkata : “Pernah Imam Ahmad ditanya tentang Murji'ah, lalu beliau berkata : Murji'ah adalah kelompok yang menyatakan iman itu hanyalah ucapan.”
Muhammad bin Husein Al-Ajurri rahimahullahu berkata : "Berhati-hatilah kalian -rohimakumullahu- dari ucapan orang yang mengatakan : Sesungguhnya imanku seperti imannya Jibril dan Mikail. Dan barangsiapa yang mengatakan : Saya adalah orang mukmin di sisi Alloh dan saya adalah orang yang sempurna keimanannya, maka ini adalah ucapan kelompok Murji'ah.”
Syuraih bin Nu’man rahimahullahu berkata : "Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Salim Ath-Thoo`i ketika kami berada di belakang maqom Ibrahim (di masjidil Haram Mekah-pent). Apa yang dikatakan oleh Murji'ah? Beliau menjawab, Mereka mengatakan : Thowaf di Ka'bah bukan termasuk keimanan.”
Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: "Telah sampai kepadaku bahwa Syu'bah berkata kepada Syariik rahimahullahu : Mengapa engkau tidak memperbolehkan persaksian Murji'ah? Beliau menjawab : Bagaimana mungkin aku membolehkan persaksian kaum yang menyatakan bahwa sholat bukan termasuk keimanan?”
Berkata Imam Ibnu Baththoh Al-Akburi rahimahullahu (meninggal tahun 387 H) : "Berhati-hatilah kalian -rahimakumullahu- dari bermajlis dengan suatu kaum yang keluar dari agama ini, karena mereka mengingkari Al-Qur’an dan menyelisihi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta keluar dari ijma ulama kaum muslimin. Mereka adalah kelompok yang mengatakan : Iman adalah ucapan tanpa amal perbuatan.
Mereka juga mengatakan : Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla menurunkan kepada mereka kewajiban-kewajiban tapi tidak memerintahkan mereka untuk mengamalkannya dan tidak memadhorotkan mereka jika mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut. Dan Alloh melarang mereka dari hal-hal yang haram, dan manusia tetap menjadi orang yang beriman (secara sempurna-pent) meskipun melakukan hat-hal yang dilarang tersebut.
Sesungguhnya iman menurut mereka adalah mengakui kewajiban-kewajiban dan tidak perlu untuk dikerjakan dan mengetahui yang haram meskipun mereka halalkan. Mereka mengatakan : Sesungguhnya mengenal Alloh itu disebut sebagai iman yang tidak membutuhkan ketaatan. Sesungguhnya orang yang tahu tentang Alloh dengan hatinya maka dia adalah seorang mukmin dan orang yang beriman dengan lisannya serta mengakui dergan hatinya adalah orang yang sempurna keimanannya seperti Jibril. Iman itu tidak bertingkat dan tidak bertambah serta tidak berkurang. Tidak ada perbedaan antara manusia (dalam tingkatan keimanan-pent), orang yang rajin (ibadah) dan yang malas, yang taat dan yang berbuat maksiat semuanya sama...”
Beliau juga berkata : "Berhati-hatilah katian –rahimahumullahu- dari orang yang mengatakan saya mukmin di sisi Alloh dan saya mukmin yang sempurna imannya, dan berhati-hatilah dari orang yang mengatakan imanku seperti imannya Jibril dan Mikail. Sesungguhnya mereka adalah Murji'ah, kelompok sesat dan menyimpang dari agama...”
Berkata Imam Abdul Qohir bin Thohir Al-Baghdadi rahimahullahu (meninggal pada tahun 429 H) : "Mereka dinamakan Murji'ah karena mereka mengakhirkan amal perhuatan dari keimanan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : "Murji'ah yang mengatakan iman adalah pembenaran dalam hati serta ucapan dengan lisan dan bahwasanya amal bukan termasuk iman, diantara mereka adalah fuqoha' Kufah dan para ahli ibadah...”
Beliau juga berkata : "Adapun masalah istitsna' (mengatakan insya Alloh,-ed) dalam Iman yaitu seseorang mengatakan : Saya mukmin insya Alloh, maka manusia ada tiga pendapat dalam hal ini : ada yang mewajibkan, ada pula yang mengharaman dan ada juga yang membolehkan kedua-duanya. Dan pendapat ketiga inilah yang paling benar. Yang mengharamkan istitsna' adalah orang-orang Murji’ah dan Jahmiyah serta selain mereka dari orang-orang yang menyatakan bahwa iman itu satu (tidak bercabang,-pent)…”
Imam Ibnu Atsir rahimahullahu berkata : "Murji'ah adalah suatu kelompok (sempalan) dalam Islam yang meyakini bahwa makiat tidaklah memadhorotkan keimanan sebagaimana tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran. Mereka dinamakan Murji'ah karena keyakinan mereka bahwa Alloh mengakhirkanlmenjauhkan adzab dari mereka karena perbuatan maksiat...”
Dari ucapan-ucapan ulama salaf di atas dan yang lain yang tidak mungkin kami sebutkan semuanya di sini, telah jelas bagi kita tanda-tanda atau ciri-ciri Murji'ah sebenarnya. Inilah tanda-tanda Murji'ah menurut ulama salaf :
1. Ucapan bahwasanya iman adalah ucapan lisan atau pembenaran hati atau ucapan dan pembenaran.
2. Ucapan bahwasanya iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Dan bahwasanya iman itu tidak bercabang serta tidak bertingkat-tingkat keimanan pemiliknya dan keimanan semua orang itu sama.
3. Mereka mengharamkan istitsna' dalam iman.
4. Pernyataan bahwasanya meninggalkan kewajiban dan melakukan yang dilarang tidak memadhorotkan keimanan dan tidak merubahnya.
5. Menyempitkan kekufuran hanya dengan takdzib/pendustaan hati saja.
6. Mensifatkan perbuatan kufur yang tidak bisa diganggu gugat kekufurannya seperti menghina/mengolok-olok (Alloh dan Rasul-Nya serta agama-Nya) dengan ucapan :Itu bukan kufur sebenarnya, namun hanya menunjukkan pendustaan dalam hatinya.
Inilah ciri-ciri Murji’ah menurut Ahlu Sunnah, maka barangsiapa yang memiliki salah satu perangai darinya maka diaah Murji'ah khabits (yang busuk). Dan barangsiapa yang tidak memiliki sedikitpun tanda-tanda tersebut maka diharamkan untuk dia dituduh dengan Murji'ah selamanya, karena daging/kehormatan para ulama dan penuntut ilmu itu beracun.
Dan Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah manusia yang paling tahu tentang kebenaran serta paling kasih sayang kepada manusia. Mereka tidak menuduh siapapun juga dengan tuduhan batil/dusta, karena kehormatan adalah tanah larangan yang tidak boleh didekati kecuali dengan bukti yang jelas sejelas matahari di siang bolong. Mereka Ahlu Sunnah bukan sepertl kebanyakan (aktivis gerakan-pent) sekarang yang menuduh orang-orang yang tak bersalah dengan tuduhan-tuduhan batil karena dorongan hizbiyah (fanatik golongan) atau karena latar belakang dunia.
Siapakah yang Tidak Bisa Dikatakan Murji’ah Menurut Salaf?
Para ulama salaf telah menyebutkan kepada kita tentang ciri-ciri orang-orang yang terlepas dan keluar dari Murji'ah, diantaranya :
1- Ucapan bahwasanya iman itu ucapan dan perbuatan.
Abdullah bin Mubarok rahimahullahu pernah ditanya : “Apakah anda Murji'ah?” Beliau menjawab : “Saya mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan, bagaimana mungkin saya menjadi Murji’ah?!”
2- Ucapan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad rahimahullahu, pernah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang ? Beliaupun menjawab: “Orang ini telah terlepas dari Murji'ah.”
Imam Al-Barbahari rahimahullahu. mengatakan "Barangsiapa yang mengatakan iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang maka dia telah keluar dari Murji'ah mulai dari awal sampai akhlrnya."
3- Ucapan bahwasanya maksiat bisa mengurangi keimanan dan dapat memadhorotkannya.
4- Bolehnya mengatakan saya mukmin insya Alloh.
Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: "Apabila dia meninggalkan istitsna' maka ini termasuk prinsip Murji'ah.”
5- Ucapan bahwasanya kekufuran bisa dengan perbuatan sebagaimana kekufuran juga bisa disebabkan oleh keyakinan dan ucapan. Dan bahwasanya amal perbuatan terkadang bisa dianggap kafir tanpa melihat keyakinan.
Murji’ah Menurut Ahli Bid’ah Terdahulu
Dahulu ahli bid'ah dari kalangan khowarij dan selainnya menuduh Ahlu Sunnah wal Jama'ah dengan Murji'ah, karena Ahlu Sunnah berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar tidak kafir kecuali dengan adanya istihlal (penghalalan akan dosa tersebut) dan bahwasanya orang yang meninggalkan sholat karena malas tidak menyebabkannya kafir yang mengeluarkan dari Islam. Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa tuduhan terhadap Ahlu Sunnah ini sudah ada sejak dahulu dan yang menuduh tersebut lebih dekat kepada bid’ah dari pada kepada sunnah.
Disini kita cukupkan dengan menyebutkan dua atsar dari salaf
1. Ishaq bin Rohawaih rahimahullahu menceritakan dari Syaiban bin Farukh bahwasanya dia pernah berkata : "Aku bertanya kepada Abdullah bin Mubarok : “Apa pendapatmu mengenai orang yang berzina, meminum khomer dan selainnya, apakah dia mukmin?” Abdullah bin Mubarok menjawab : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan.” Syaiban berkata : “Dengan usiamu yang tua engkau menjadi Murji'ah?!” Abdullah bin Mubarok menjawab : “Wahai Abu Abdulah, sesungguhnya Murji'ah tidak mernerimaku. Aku mengatakan iman itu bertambah sedangkan Murji'ah tidak mengatakan seperti itu.”
2. Syaikh Al-'Allamah Abul Fadhl As-Saksaki Al-Hambali rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya sekelompok ahli bid'ah yang bernama Al-Manshuriyah menuduh Ahlu Sunnah sebagai Murji'ah karena mereka (Ahlu Sunnah) mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat jika tidak diiringi dengan pengingkaran akan kewajibannya maka dia masih muslim menurut pendapat yang kuat dari madzhab Imam Ahmad. Mereka (ahli bid'ah) mengatakan : Pendapat ini menjadikan iman menurut mereka hanyalah ucapan tanpa amal perbuatan.”
Padahal sangat jelas perbedaan antara hukum orang yang meninggalkan sholat karena malas menurut Ahlu Sunnah dan menurut Murji'ah. Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata : "Ucapan (tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat karena malas) telah dikatakan oleh sekelompok dari para imam yang mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan. Dan Murji'ah juga mengatakan seperti itu, akan tetapi Murji'ah mengatakan orang tersebut sempurna keimanannya. Dan kami telah menyebutkan perbedaan ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah tentang orang yang meninggalkan sholat (Karena malas tapi masih mengakui hukum kewajibannya,-pent). Adapun ahli bid'ah seperti Murji'ah mereka mengatakan Orang yang meninggalkan sholat imannya sempurna jika dia masih meyakini kewajibannya.”
Bahkan mereka mengatakan Imannya seperti iman Jibril dan Mikail!! Adapun Salaf Ahli Hadits mereka mengatakan : "Sesungguhnya dia kurang imannya, dan berada di bawah kehendak Alloh, jika Dia berkehendak Dia akan mengadzabnya di neraka (meski tidak kekal didalamnya,-pent) dan jika Dia mau, Dia ampuni serta Dia masukkan kedalam surga-Nya.”
Imam Ash-Shobuni juga berkata : “Ahli hadits berselisih pendapat tentang seorang muslim yang meninggalkan sholat fardhu dengan sengaja. orang tersebut dikatakan kafir oleh Imam Ahmad bin Hambal dan sekelompok ulama salaf yang lain dan mereka mengeluarkannya dari agama Islam seperti yang tercantum dalam hadits shohih yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : "Antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan sholat, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat ia kafir.”
Imam Syafi’i rahimahullahu beserta para sahabat-sahabat beliau dari ulama salaf -semoga rohmat Alloh atas mereka semua- berpendapat bahwa orang tersebut tidak kafir selama meyakini kewajibannya. Akan tetapi orang tersebut berhak untuk dibunuh, seperti orang murtad dari Islam yang juga berhak dibunuh. Mereka menafsirkan hadits diatas dengan : “Barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan mengingkari kewajibannya (maka dia kafir)...”
Definisi Murji’ah Menurut Ahli Bid’ah Sekarang
Orang-orang yang menyelisihi Ahlu Sunnah dan menuduh mereka dengan Murji'ah telah melakukan suatu kedustaan dan kebohongan. Tapi Alloh enggan melainkan menjatuhkan mereka kedalam lingkaran ahli bid'ah terdahulu yang juga sama-sama menuduh Ahlu Sunnah sebagai Murji'ah yang ekstrim.
Jika ahli bid'ah terdahulu menuduh orang yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar seperti zina, minum khomer dan semisalnya dengan Murji'ah, maka orang-orang yang menyelisihi (Dakwah Salafiyah,-pent) sekarang menuduh orang yang tidak mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh tanpa adanya istihlal/penghalalan dengan tuduhan sebagai Murji'ah.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh pembuat makalah Aqidah Jama'ah Salafiyah di Majalah “An-Najah” dalam penutup hal. 5 : "Jika anda telah memahami bahwa aqidah “JS” (Jama’ah Salafiyah) dalam bab iman adalah aqidah Murji'ah Fuqaha' dan aqidah mereka dalam bab kekafiran adalah aqidah Jahmiyah (Murji'ah Ekstrim), maka anda bisa memahami dengan baik :
· (Kenapa ???) mereka sangat gigih memperjuangkan aqidah; kekafiran itu hanya karena istihlal semata, terlebih dalam kaitannya dengan realita para pemerintah yang mengganti syariat Alloh Ta'ala dengan undang-undang positif.
· (Kenapa ???) mereka menganut aqidah sekte sesat Jahmiyah (yang telah dikafirkan oleh para ulama Ahlu Sunnah) supaya bisa menutup-nutupi kemurtadan dan kekafiran para pemerintah murtad hari ini dengan selimut syar'i...” (selesai penukilan sampai di sini)
Maka kita katakan kepada pembuat makalah ini : "Inikah yang melatar belakangi kalian untuk menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji'ah? Tidakkah kalian membuka mata Iebar-lebar untuk membaca ucapan para ulama salaf tentang ketidakkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh jika tidak diiringi oleh istihlal?!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang firman Alloh :
وَ مَا لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولـئِكَ هُمُ الكَافِرُوْن
“Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS.Al-Maidah : 44)
sebagai kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.”
Imam Abu Ubeid Al-Qosim bin Sallam rahimahullahu berkata : “Adapun pemutus dan saksi atas semua ini adalah firman Alloh, “Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata : “Bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama.” Dan Atha’ bin Abi Robah berkata, “Kufrun Duna Kufrin” (Kekufuran yang tidak mengkafirkan/kufur kecil).” Sungguh jelas bagi kita bahwa hal tersebut tidak mengeluarkan dari Islam dan bahwasanya agamanya tetap berdiri meskipun dilumuri dosa…”
Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata : “Yang benar bahwa berhukum dengan selain hukum Alloh mencakup dua bentuk kekufuran, kufur kecil dan besar sesuai dengan keadaan orang tersebut. Apabila dia masih meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh pada suatu kejadian dan dia menyimpang dari hukum Alloh dalam keadaan maksiat beserta keyakinannya bahwa dia berhak mendapat sanksi maka ini kufur kecil. Tapi jika dia meyakini tidak wajibnya berhukum dengan hukum Alloh, dan bahwasanya dia diberi pilihan sedang dia meyakini itu hukum Alloh maka ini termasuk kufur besar, tapi jika dia tidak tahu (hukum Alloh) dan dia keliru maka hukumnya seperti hukum orang yang khilaf. Kesimpulannya : Semua maksiat termasuk kufur kecil...”
Apakah mereka para ulama seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Atho' bin Abi Robah rahimahullahu, Abu Ubeid Al-Qosim bin Sallam rahimahullahu, Ibnul Qoyyim rahimahullahu dan selain mereka yang menyelisihi kalian itu adalah Murji'ah karena tidak mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh jika tidak ada istihlal???!!!
Mengapa kalian hanya mengkhususkan pengkafiran ini hanya kepada pemerintah kaum muslimin saja? Bukankah ayat dalam surat Al-Maidah 44 tersebut umum mencakup siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Alloh?! Bukankah orang yang berbuat bid'ah dan yang berbuat maksiat itu juga berhukum dengan selain hukum Alloh ?! Alloh berfirman :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَــؤُاْ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهِ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS. Asy-Syuura : 21)
Bukankah kalian sendiri telah berhukum dengan selain hukum Alloh dengan mengkafirkan pemerintah kaum muslimin seenaknya saja?!
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُوْنَ
“Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”
(QS. Al-Qolam : 36)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Pewajiban dan pengharaman, dosa dan pahala serta takfir (pengkafiran) dan tafsiq (penfasikan) adalah hak Alloh dan Rasul-Nya saja. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menghukumi di dalamnya” .
Ibnu al-Qoyyim rahimahullahu berkata dalam Qosidah Nuniyah-nya:
الكٌفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهِ بِالنِّصِ يَثْبُتُ؛ لاَ بِقَوْلِ فُلاَنِ
مَنْ كَانَ رَبُّ العَالَمِيْنَ وَ عَبْدُهُ قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْالكُفْرَانِ
(Penetapan sesuatu) kufur adalah hak Alloh kemudian Rasul-Nya
Dengan penetapan nash bukan dengan ucapan si fulan
Barangsiapa yang oleh Robb semesta Alam dan Rasul-Nya
Dikafirkan maka dialah orang kafir
Kalau kalian mengkafirkan pemerintah kaum muslimin karena tidak berhukum dengan hukum Alloh meskipun tidak diiringi oleh istihlal, maka mengapa kalian tidak mengkafirkan orang yang berbuat bid'ah atau maksiat?! Dan mengapa kalian tidak mengkafirkan orang tua dan saudara-saudara kalian sendiri yang masih berbuat bid’ah dan maksiat?! Dan mengapa kalian tidak mengkafirkan diri kalian sendiri yang juga masih berbuat bid’ah dan maksiat?! Tapi memang kalian ingin menelusuri jejak Khowarij yang membunuh Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, dengan alasan beliau tidak berhukum dengan hukum Alloh.
Imam Al-Hafizh Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein Al-Ajurri rahimahullahu berkata dalam kitabnya Asy-Syari'ah : “Diantara syubhat khowarij adalah (berpegangnya mereka dengan-pent) firman Alloh “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Alloh maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. Mereka membacanya bersama firman Alloh : “Namun orang-orang kafir itu mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Surat Al-An'am : 1). Apabila mereka melihat seorang hakim yang tidak berhukum dengan kebenaran mereka berkata : Orang ini telah kafir dan barangsiapa yang kafir maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Maka mereka para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik.”
Al-Imam Al-Qodhi Abu Ya'la rahimahullahu berkata dalam masalah iman : "Khowarij berhujjah dengan firman Alloh Ta’ala "Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh maka mereka itu adalah orang-orang kafir". Zhohirnya dalil mereka ini mengharuskan pengkafiran para pemimpin-pemimpin yang zholim dan ini adalah perkataan khowarij padahal yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah orang-orang yahudi.”
Abu Hayyan rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Khowarij berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat kepada Alloh itu kafir, mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh bahwa dia itu kafir.”
Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullahu menukil perkataan dari Al-Qusyairi rahimahullahu : "Madzhabnya khowarij adalah barangsiapa yang mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Alloh maka dia kafir.”
Dan siapakah yang kalian maksud dengan pemerintah kaum muslimin yang telah kafir dan murtad itu?! SBY kah atau Raja Fahd atau Raja Abdullah??? Jelaskan kepada umat dan umumkan bahwa aqidah kalian adalah aqidah Khowarij yang gemar lagi hobi mengkafirkan pemimpin kaum muslimin!!! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Mengatakan : “Kelompok Khowarij adalah kelompok pertama yang mengkafirkan kaum muslimin dan mengatakan kafir bagi setiap pelaku dosa. Mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi bid'ah mereka serta menghalalkan darah serta hartanya.”
Para salaf menyebutkan bahwa diantara ciri ahli bid'ah adalah mencaci maki atau melaknat pemimpin kaum muslimin, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahlu Sunnah lmam Al-Barbahari rahimahullahu di dalam kitabnya Syarhus Sunnah : “Apabila engkau melihat seseorang melaknat pemimpin kaum muslimin maka ketahuilah bahwa dia itu pengekor hawa nafsu (ahlu bid'ah)...”
Ketahuilah wahai kaum Muslimin, bahwa pemikiran takfir seperti infah yang mendasari adanya peledakan dan pengeboman di beberapa negeri Islam. Maka berhati-hatilah dari pemikiran Khowarij ini dan dari orang-orangnya!!!
Kemudian tanda kedua Murji'ah menurut ahli bid'ah sekarang adalah tidak adanya pengkafiran terhadap orang yang meninggalkan sholat karena malas, meski dia masih meyakini akan kewajibannya dan ini adalah jalan/metode pendahulu mereka seperti yang telah disebutkan di atas.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Safar Hawali penulis kitab Zhohiratul Irja' yang menuduh Syaikh Al-Albani sebagai Murji'ah. Dia mengatakan : “Dan tidaklah yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat (karena malas,-pent) tidak kafir melainkan yang telah kemasukan pemikiran Murji'ah, baik dia merasa atau tidak.”
Syaikh Al-Albani Sangat Jauh Dari Murji’ah
1. Aqidah beliau dalam masalah Iman
Beliau rahimahullahu berkata dalam ta'liq Aqidah Thohawiyah ketika mengomentari ucapan Imam Thohawi rahimahullahu “Iman adalah ucapan dilisan dan keyakinan dalam hati”, Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata :
“Ini adalah aqidah Hanafiyah Maturidiyah yang berseberangan dengan salaf serta jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza'i dan selainnya. Mereka semuanya menambahkan amal perbuatan diatas ucapan dan keyakinan. Bukanlah perselisihan antara kedua madzhab hanya perselisihan yang abstrak (tidak ada wujudnya) seperti yang dikatakan oleh (Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi) dengan alasan mereka semua sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari keimanan dan bahwasanya semua di bawah kehendak Alloh, jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengadzabnya dan jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengampuninya.
Sesungguhnya kesepakatan ini meskipun benar, namun seandainya madzab Hanafi tidak menyelisihi jumhur dengan sebenar-benarnya penyelisihan dalam pengingkaran mereka bahwa amal bukan termasuk Iman maka sungguh mereka akan menyepakati bersama jumhur bahwa iman itu bisa bertambah (dan bisa berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan sesuai dengan dalil dari Al-Qur'an dan sunnah serta atsar para salaf. Sebagian dalil-dalil tersebut telah disebutkan oleh Imam Ibnu Abil 'Izzi (hal.384-387) [344-342], akan tetapi madzhab Hanafi bersikeras untuk menyelisihi dalil-dalil yang jelas tersebut dalam hal bertambah dan berkurangnya iman. Mereka berusaha untuk menta'wilkan dalil-dalil tersebut dengan ta'wil yang dipaksakan bahkan ta'wil yang batil.
Imam Ibnu Abil 'Izzi menyebutkan pada hal.(385) [342] sebagian dari ucapan mereka. Bahkan diriwayatkan dari Abi Mu'in An-Nasafi bahwa dia mencela keabsahan hadits “iman memiliki 70 lebih cabang..." meskipun para imam-imam hadits berhujjah dengan hadits tersebut diantaranya Imam Bukhori dan Imam Muslim di dalam kedua kitab shohih mereka. Hadits tersebut tercantum dalam Silsilah Shohihah no.1769.
Tidaklah hadits ini ditolak melainkan karena menyelisihi madzhab mereka! Kemudian bagaimana mungkin perselisihan ini hanyalah perselisihan yang abstrak, sedangkan mereka membolehkan bagi orang yang sangat fajir/fasik diantara mereka untuk mengatakan : Imanku seperti imannya Abu Bakar bahkan seperti imannya para nabi dan rasul, Jibril dan Mikail -alaihimush sholatu was Salam!
Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan sedangkan menurut madzhab mereka tidak boleh bagi seorangpun meskipun dia fasik/fajir untuk mengatakan : saya mukmin insya Alloh Ta’ala. Bahkan mereka mengharuskan untuk mengatakan : Saya mukmin dengan sebenar-benarnya!
Alloh Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.” (QS.Al-Anfal : 2-4)
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh?” (QS. An-Nisa' : 122)
Berdasarkan hal ini semua mereka tenggelam dalam kefanatikan mereka. Mereka menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengatakan saya mukmin insya Alloh maka dia telah kafir. Tidak cukup di sini saja, bahkan mereka menyatakan bahwa tidak boleh bagi seorang yang bermadzhab Hanafi untuk menikah dengan perempuan dari madzhab Syafi’i! Tapi sebagian mereka membolehkan dengan alasan seperti ahli kitab (yang dibolehkan bagi seorang muslim mengawini perempuan-perempuan mereka).
Dan saya pernah kenal seorang dari syaikh madzhab Hanafi yang putrinya dilamar oleh salah seorang syaikh madzhab Syafi’i namun lamarannya ditolak dengan mengatakan: Seandainya anda bukan dari madzab Syafi’i! Apakah setelah penjelasan seperti ini masih ada keraguan bahwa perselisihan ini bukan sembarangan? Barangsiapa yang ingin perincian dalam masalah ini silahkan lihat kembali kitab Al-Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu karena kitab ini merupakan kitab terbaik dalam pembahasan tentang iman.” (selesai penukilan ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Beliau rahimahullahu juga berkata ketika membantah salah seorang yang mencela Musnad Ahmad rahimahullahu :
“Sesungguhnya orang ini bermadzhab Hanafi dan beraqidah Maturidi. Telah diketahui bersama bahwa mereka tidak mengatakan seperti apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah serta atsar para sahabat bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya amal termasuk bagian dari keimanan. Ini adalah aqidah jumhur ulama salaf dan kholaf selain madzhab Hanafi. Mereka (orang madzhab Hanafi) bersikeras untuk menyelisihi salaf dalam masalah ini bahkan sebagian mereka menyatakan bahwa aqidah seperti di atas adalah aqidah kufur dan murtad -wal 'iyadzu billah-.
Disebutkan dalam kitab Al-Bahru Ar-Roo`iq bab Al-Karohiyah (VIII/205) oleh Ibnu Najim Al-Hanafi bahwasanya “iman tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang karena iman menurut kami bukan bagian dari amal.” Ini jelas-jelas menyelisihi hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ditanya : “Amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab : “Iman kepada Alloh dan Rasul-Nya...” (HR. Bukhori dan selainnya. Bisa dilihat dalam At-Targhib II/107).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memperinci masalah keberadaan iman merupakan bagian dari amal dan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang dalam kitab beliau Al-Iman. Silahkan lihat.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan "Inilah yang selalu aku katakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu untuk menguatkan madzhab salaf dan aqidah Ahlu Sunnah -walillahi al-hamdu- tentang masalah iman. Tapi sekarang tiba-tiba muncul sebagian orang yang bodoh lagi ingusan yang menuduh kami sebagal Murji'ah !! Kepada Allohlah kami mengadukan kebodohan, kesesatan dan kejahatan mereka.” (selesai sampai di sini ucapan Syaikh Al-Albani)
Inilah aqidah Syaikh Al-Albani rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya iman itu bercabang. Beliau juga membolehkan istitsna' dan bahwasanya amal termasuk bagian dari keimanan. Dari sini beliau telah mendapat rekomendasi (secara logis konsekuensi) dari para imam-imam salaf seperti Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Al-Barbahari – rahimahumullahu jami’an- bahwasanya beliau telah terlepas dan selamat dari Murji'ah mulai awal sampai akhir. Bahkan beliau adalah bumerang bagi Murji'ah. Oleh karenanya beliau mentahqiq kitab-kitab yang menguatkan aqidah salaf ini seperti Kitabul Iman karya Ibnu Abi Syaibah, Kitabul Iman karya Abu Ubeid dan Kitabul Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahumulahu jami’an-.
Di dalam majelis ta'lim pernah dibacakan kepada beliau fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu tentang pengkafiran orang yang mencela dan memperolok (Alloh, Rasul dan agama-Nya –pent.) lalu beliaupun menguatkannya dan bahwasanya inilah yang juga beliau yakini.
Dan didalam majlis ta'lim yang sudah dikenal antara Syaikh rahimahullahu dengan penulis ini (i.e. Syaikh Kholid Al-Anbari -hafizhahullahu-), beliau dengan jelas, menyatakan bahwa kekufuran itu bisa dengan perbuatan seperti sujud kepada berhala, membuang mushaf di tempat kotor, dan bisa juga dengan ucapan seperti memperolok dan mencela Alloh dan Rasul.
Beliau juga menyatakan bahwa kekufuran itu ada enam macam, yaitu :
1. Takdzib (pendustaan dengan hati dan lisan).
2. Juhud (pendustaan dengan lisan saja).
3. ‘Inad (menentang).
4. I’rodh (berpaling).
5. Nifaq (munafik).
6. Syak (Ragu)
Beliau menyatakan bahwa Murji’ah adalah orang-orang yang menyatakan bahwa kufur itu hanyalah takdzib saja. Murji'ah mengatakan bahwa setiap orang yang dikafirkan Alloh adalah yang tidak ada pembenaran dalam hatinya tentang Alloh Ta'ala.
Adapun masalah apakah kafir atau tidakkah orang yang meninggalkan jinsul (jenis) amal atau aahadul (individu) amal? maka Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata "Siapakah yang mengatakan kaidah seperti ini?! Apakah Alloh dan Rasul-Nya?! ini adalah ucapan yang tidak bermakna! Kita katakan : Barangsiapa yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka dia yang disebut orang kafir dan barangsiapa yang tidak dikafirkan oleh Alloh dan Rasul-Nya maka dia bukan orang kafir. Inilah yang benar. Adapun masalah jinsul amal atau na'ul (macam) amal serta aahadul amal maka ini hanyalah filsafat yang tidak ada manfaatnya.” Kalau ada yang mengatakan bahwa kafir orang yang meninggalkan jinsul amal maka bagaimana pendapatnya tentang hadits syafaat Alloh bagi orangorang yang tidak beramal kebaikan sama sekali?”
Demikian pula dengan masalah apakah amal termasuk syarthul kamal (syarat kesempurnaan) ataukah syarthus shihah (syarat sahnya iman), maka ini juga termasuk masalah yang muhdats (baru) yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama salaf, yang ada dari mereka -para salaf- adalah amal termasuk bagian dari iman.
Adapun kalau ada yang membawa ucapan salaf (Iman adalah ucapan, perbuatan dan niat. Salah satu dari ketiganya tidak sah (mencukupi) kecuali dengan adanya yang lain) untuk menyatakan bahwa amal adalah syarat sahnya iman dan kafir orang yang meninggalkan jinsul amal, maka apakah orang yang tidak berniat dalam berucap atau berbuat itu kafir?! dan kafirkah orang yang beramal, dan berucap serta berniat namun tidak sesuai dengan sunnah seperti ungkapan sebagian salaf tentang iman?!
Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- akan syubhat ini : “Terkadang ada didalam ucapan Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu dengan juhud dan takdzib! Maka sebagian orang memahami bahwa Syaikh rahimahullahu menyempitkan kekufuran hanya pada juhud atau takdzib saja dan meniadakan macam-macam kekafiran yang lainnya seperti kufur iba'/istikbar (sombong), imtina' (menolak), syak, nifak dan selainnya.”
Pemahaman mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu ini batil karena penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut berlandaskan kebanyakan atau mayoritas. Penyebutan seperti ini juga pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu 'Fatawa (III/354) : "Asal kekufuran itu ada pada pengingkaran kepada Alloh." Apakah dengan ini kita mengatakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada pengingkaran semata ?!
Demikian pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (III/1156) : “Kekufuran itu ada pada juhud.” Apakah akan kita katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?! Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah Syaikh Kholil Harros rahimahullahu :
الكُفْرُ لَيْسَ سِوَى اْلعِنَادِ وَرَدِّ مَا جَاءَ الرَّسُوْلُ بِهِ لِقَوْلِ فُلاَنِ
Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan 'inad/penentangan dan menolak
apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang
Ucapan yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) : “Telah disebutkan oleh para ulama -rohimahumullahu- perincian hal-hal yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan semua itu kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.” Apakah kita akan mengatakan bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!
Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan menjelaskan semua ini dalam Majmu' Fatawa (XX/98) tentang orang yang meninggalkan sholat : "Barangsiapa dari kalangan fuqoha' yang memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhudl menentang kewajibannya maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup takdzib akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya…”
Lantas, apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan Syaikh Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an- adalah Murji'ah karena ucapan mereka itu?!
أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS. Al-Baqoroh : 44)
2. Rekomendasi ulama Ahlu Sunnah akan aqidah Syaikh Al-Albani
Al-'Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu pernah ditanya sebagai berikut : “Sebagian orang menebarkan syubuhat tentang aqidah al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani hafizhahullahu dan mereka menisbatkan kepada beliau sebagai kelompok sesat seperti Murji’ah. Apa ucapan (nasehat) Anda terhadap mereka?”
Beliau rahimahullahu menjawab : “Syaikh Nashiruddin Al-Albani termasuk saudara-saudara kita ahli hadits yang terkenal dari kalangan ahli sunnah wal jama'ah. Kita mohon kepada Alloh semoga Dia selalu memberikan kepada kita dan beliau taufiq serta pertolongan di atas kebaikan. Yang wajib bagi setiap Muslim adalah selalu bertakwa kepada Alloh dan merasa takut kepada Alloh (dari menuduh) para ulama dan janganlah dia berbicara kecuali diatas ilmu.”
Al-‘Allamah Faqiihuz Zaman Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullahu pernah ditanya : “Berkata sebagian orang : Sesungguhnya Syaikh Al-Albani rahimahullahu ucapannya dalam masalah iman adalah ucapan Murji'ah. Bagaimana menurut pendapat anda ?”
Beliau rahimahullahu menjawab : “Aku katakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan oleh orang terdahulu :
أَقِلُّوْا عَلَيْهِمْ لاَ أَبَا لِأَبِيْكُمْ مِنَ اللَّوْمِ أَوْ سَدُّ المَكَانَ الَّذِيْ سَدُّ
Tinggalkan segala celaan terhadap mereka
atau berbuatlah (kebaikan) sebagaimana mereka telah berbuat
Syaikh Al-Albani rahimahullahu adalah seorang alim ahli hadits dan faqih, meskipun lebih kuat ahli haditsnya dari faqih. Saya tidak pernah selamanya mendapatkan beliau memiliki ucapan yang menunjukkan bahwa beliau Murji'ah. Akan tetapi orang-orang yang ingin mengkafirkan manusia (kaum muslimin) menuduh beliau dan yang semisal beliau dengan tuduhan murji'ah! Ini semuanya hanyalah pemberian gelar yang buruk. Dan saya bersaksi akan keistiqomahan Syaikh Al-Albani rahimahullahu serta kebaikan aqidah dan keikhlasan beliau. Meskipun demikian kita tidak mengatakan bahwa beliau tidak pernah bersalah karena tidak ada seorang pun yang tidak bersalah melainkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
Beliau rahimahullahu juga berkata : “Barangsiapa yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji'ah maka dia telah keliru. Mungkin orang itu tidak tahu siapa Syaikh Al-Albani atau mungkin dia tidak tahu tentang siapa Murji'ah!! Syaikh Al-Albani adalah ahli sunnah rahimahullahu, pembela sunnah, imam dalam ilmu hadits, kita tidak mengetahui seorangpun yang menandingi beliau pada zaman ini. Akan tetapi sebagian orang -kita mohon kepada Alloh keselamatan- ada di dalam hatinya rasa hasad, jika melihat ada orang yang diterima oleh manusia diapun bersegera mengolok-oloknya seperti perbuatan orang-orang munafik
“(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya” (QS. At-Taubah:79)
Beliau rahimahullahu telah kita kenal lewat buku-buku beliau dan aku juga mengenal terkadang lewat majlis-majlis beliau. Beliau adalah salafi dalam aqidah dan selamat manhajnya. Akan tetapi sebagian orang yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal-hal yang tidak Alloh kafirkan mereka dengannya menuduh dengan kedustaan dan kebohongan bahwa orang yang menyelisihi mereka dalam pengkafiran adalah Murji'ah. Oleh karena itu janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun juga.” (Selesai ucapan beliau)
Al-'Allamah Ahli Hadits Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad -hafidzahullahu- berkata : “Syaikh Al-Albani seorang alim besar, ahli hadits terkenal, pembela sunnah, aqidah beliau benar dan beliau memiliki perjuangan dalam aqidah. Kitab-kitab beliau tentang aqidah semuanya selamat dan tidak ada seorang penuntut ilmu pun yang bisa lepas dari ilmu dan kitab-kitab beliau.”
Al-‘Allamah asy-Syaikh At-Tuweijiri rahimahullahu berkata “Syaikh Al-Albani adalah pembela sunnah, mencela Syaikh Al-Albani berarti mencela sunnah.”
Sungguh indah dan benar apa yang dikatakan oleh Abu Mu'awiyah Ali bin Ahmad bin Suuf –hafidzahullahu- : “Cukuplah Alloh sebagai pelindung dan penolong kami, Bagaimana bisa orang yang selama hidupnya memerangi bid'ah (Murji'ah-pent) dan para pelakunya dituduh sebagai Murji'ah?! Dan bagaimana bisa dikatakan orang itu berada di atas bid'ah sedang seluruh hidupnya selalu bersama sunnah?! Setiap orang yang melihat Imam (Al-Albani) dengan kedua matanya dia pasti akan melihat sendiri sunnah berjalan di atas bumi ini di dalam ucapan, pakaian dan gerak-gerik beliau. Akan tetapi orang-orang bodoh tidak bisa diam.Tidaklah karya-karya besar yang menghabiskan usia beliau dalam meneliti keshohihan hadits dari kelemahannya seperti Silsilah Shohihah dan Dho'ifah dan selainnya melainkan bukti yang paling konkret bahwa beliau tidaklah menyelisihi manhaj salaf dalam prinsip yang agung ini (masalah iman-pent).” (selesai di sini ucapan beliau)
Orang yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji’ah atau tuduhan yang lainnya ibaratnya seperti yang dikatakan seorang penyair:
لاَ يَضُرُّ الْبَحْرَ أَمْسَى زَاخِرًا أَنَّ رَمَى فِيْهِ غُلاَمٌ بِحَجَرِ
Tidaklah memadharatkan samudera yang luas
Jika seorang anak kecil melemparinya dengan batu kerikil
كَنَاطِحِ صَخْرَةٍ يَوْمًا لِيُوْهِنَهَا فَلَمْ يَضُرُّهَا وَأَوْهَا قَرْنَهُ الْوَعِلُ
Seperti kambing hutan yang menanduk batu besar untuk meruntuhkannya
Tapi dia tidak bisa memadharatkannya dan kambing itu merusak tanduknya sendiri
Ada Apa dengan Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari
Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji'ah yang dilontarkan oleh para harokiyyin, sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Ambari -hafidzahumallohu-.
Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lajnah Daimah yang juga ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua Syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji'ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji'ah. Mereka adalah masyayikh Ahlu Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji'ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban terhadap fatwa Lajnah Daimah tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.
Adapun Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafidzahullahu-, maka dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah serta tuduhan Murji'ah ini beliau banyak menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa saja yang hatinya masih bersih, akan jauhnya beliau dari Aqidah Murji'ah. Maka barangsiapa yang telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji'ah atau sebagian buku beliau ada pemikiran Murji'ah hendaklah membaca kitab-kitab berikut ini agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata: Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah 'Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta'rif Wat Tanbi`ah, At-Tanbihaat al-Mutawaa`imah, Al-Hujjah Al-Qo`imah ‘ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa' dan lain-lain.
Diantara yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Da`imah adalah: "Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan kedudukannya, bisa diterima dan bisa ditolak serta kemungkinan bisa salah bisa benar, maka saya ingin menulis sebuah dialog ilmiah yang ringkas untuk menjawab fatwa lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi jalan kebenaran. Semoga rahmat Alloh bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata :
"Wajib bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila membaca kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka agar dia menimbangnya dengan Al-Qur'an dan sunnah. Karena setiap mujtahid dari kalangan para ulama dan yang mengikuti mereka serta yang menisbatkan diri kepada mereka haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran hanya satu dalam setiap permasalahan dan para imam-imam itu diberi pahala akan ijtihad mereka. Orang yang bijak ketika membaca ucapan mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan melihat dalil-dalilnya...” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya dengan penuh hormat terhadap para masyayyikh yang mulia dan semoga ucapanku dan dialog ini -insya Alloh- sesuai dengan apa yang ada dalam hati kami dari penghormatan terhadap mereka...” . (Selesai ucapan beliau)
Terlebih lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim robbani faqiihul ummah yang juga anggota kibarul ulama serta anggota Lajnah Daimah yaitu Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullahu. Inilah pendapat beliau tentang fatwa tersebut : "Ini adalah suatu kesalahan dari lajnah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengkafirkan) dan tsauriyun (para pemberontak)." Beliau juga berkata : "Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan.” (selesai ucapan syaikh)
Dan renungkanlah -wahai saudaraku ucapan emas dari seorang ahli ushul serta imam dan khotib Masjidil Rasul; Fadhilatusy Syaikh Husein bin Abdul Aziz Alu Syaikh -hafidzahullahu-. Beliau pernah ditanya : "Fadhilatusy Syaikh - jazakumullahu khoiron- : Apa pendapat Anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da`imah seputar dua kitab Syaikh Ali bin Hasan -hafidzahullahu- “At-Tahdzir” dan “Shoihatu Nadzir”, bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji'ah, bahwasanya amal bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurnanya iman?!"
Beliau menjawab :
“Pertama-tama : wahai saudaraku! Syaikh Ali dan Masyayikh di atas manhaj yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Alloh -pent). Syaikh Ali telah diberi oleh Alloh ilmu dan pengetahuan -wa lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini -alhamdulillah- masih di tengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.
Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang di atas manhaj sunnah tidak diragukan lagi -walillahil hamdu- berada diatas manhaj yang diridhoi. Dan Syaikh Ali sendiri -walillahil Hamdu-termasuk yang membela manhaj Ahli sunnah wal jama'ah.
Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji'ah dan ini tidak mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya fatwa ini untuk menvonis syaikh sebagai Murji’ah, maka aku tidak faham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu. Mereka para Masyaikh sangat menghormati dan menghargai beliau.
Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab "Al-Ajwibah AI-Mutalaaimah ‘ala fatwal Lajnah Daimah" sebagaimana yang dilakukan oleh salafush sholeh. Tidaklah ada diantara kita seorang pun melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu :
كُلُّ كَلاَمٍ مِنْهُ ذُوْ قَبُوْلٍ وَمِنْهُ مَرْدُوْدٌ سِوَى الرَّسُوْلِ
Semua ucapan kadang bisa diterima
dan terkadang bisa ditolak kecuali Rasul
Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan selain mereka dari kalangan para sahabat.
Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji'ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Alloh selalu memberinya taufiq- ketika menulis “Al-Ajwibah al-Mutala`imah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah, namun hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Albani rahimahullahu amat jauh sekali dari pemikiran Murji'ah seperti yang telah aku katakan dahulu.
Syaikh Ali misalnya kalau aku tanya tentang apa itu iman? demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji'ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa lajnah bukan seperti yang didangungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu Murji'ah. Sekali-kali tidak, mereka para Masyayikh tidak mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia termasuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh tetap seperti itu.
Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani rahimahullahu dan dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatus Syaikh mengajar di kuliah Syariah tahun 1406 H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian dan doa.
Syaikh Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabiah dipersatukan oleh satu hal yaitu manhaj salafush sholeh. Seandainya kita bersatu diatas hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah-belah. Akan tetapi inilah perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.
Adapun kalau ada orang ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka meninggalkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid'ah.” (Selesai jawaban beliau sampai di sini)
Demikian pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari -hafizhahullahu- yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa lajnah yang mencekal buku beliau “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu”. Padahal beliau termasuk masyayikh Dakwah Salafiyah yang gigih memperjuangkan aqidah ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta hizbiyah dan amat jauh dari Murji'ah. Terlebih kitab beliau tersebut telah mendapat pujian dari para ulama semisal Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullahu dan Syaikh DR. Sholeh bin Ghonim Sadlan hafizhahullahu, Dosen pasca sarjana di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud.
Adapun pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu maka beliau mengatakan : “Saudara Kholid bin Ali Al-Anbari telah menghadiahkan kepadaku kitab karangannya "Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu” dan aku meodapati kitab tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan penjelasan.”
Syaikh Sholeh bin Ghonim as-Sadlan hafizhahullahu berkata : “Aku mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari yang berjudul “al-Hukmu bighoyri ma anzalallahu”… telah menepati judulnya dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya salafush shalih dalam segala permasalahannya. Semoga Alloh menganu-gerahkan kepada beliau pahala akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan semoga Alloh memberikan manfaat lewat kitab beliau ini, kaum muslimin baik para ulama, cendekiawan, masyaikh, penuntut ilmu, para dai maupun masyarakat umum.
Beliau memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam, berupa kufur takdzib, juhud, ‘inad, i'rodh, syak dan nifaq. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dengan keyakinan, ucapan maupun amal perbuatan. Beliau juga menyinggung tentang kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan hanya pada kufur takdzib di dalam hati saja.
Beliau juga berkata, bahwa kitab ini ditulis dengan metode ilmiah yang kokoh, tidak ada caci maki maupun celaan yang buruk. Kitab ini amat spesial di dalam pembahasannya. Dan penulis di dalam masalah perincian hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh telah sesuai pendapatnya dengan pendapat Samahatul Walid Mufti Kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz , Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.” (selesai ucapan beliau)
Fatwa lajnah ini pun juga ditentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyin dan tsauriyin (revolusionis). Begitu juga dengan Syaikh Sholeh As-Sadlan yang tidak bisa menerima fatwa tersebut.
Syaikh Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah yang berjudul “Al-Maqoolaat Al-Anbariyah fi Tahkiimil Qowaaniin Al-Wadh'iyah”, diantaranya beliau mengatakan : "Tidak tersembunyi lagi bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak Alloh dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon kepada anda sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar'i mengenai keputusan Lajnah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab (Al-Hukmu..) yang telah terbit sejak lima tahun yang lalu…”
Maka di sini penulis menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan isu atau syubhat bahwa buku Syaikh Kholid ini berada diatas manhaj Murji'ah agar dia membaca sendiri buku tersebu dan meneliti manakah pemikiran Murji'ah yang dituduhkan itu!!! Demikian pula yang menuduh Syaikh Kholid Murji'ah agar dia membaca karangan Syaikh Kholid yang berjudul Murjiatul Ashr (Murji’ah abad ini). Buktikan apakah beliau Murji'ah atau malah sebaliknya membantah Murji'ah!!!
Jika demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji'ah atau Jahmiyah?I
“Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Alloh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. AI-Bagarah : 281)
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. AI-Fajr : 14)
Begitu jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji'ah, namun masih ada saja orang yang buta akan hal ini.
الْحَقُّ شَمْسٌ وَالْعُيُوْنُ نَوَاظِرُ لَكِنَّهَا تَخْفَى عَلَى الْعَمْيَانِ
Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
أَصَمَّكَ سُوْءُ فَهْمِكَ عَنْ خِطَابِيْ وَأَعْمَاكَ الضَّلاَلُ عَنْ اهْتِدَاءِ
Kejelekan pemahamanmu membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku
Sebagai penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor spesialis kelompok-kelompok sempalan, Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql -hafizhahullahu- :
"Tidak semua orang yang dituduh Murji'ah dia benar Murji'ah. Terlebih di zaman ini, karena tukang-tukang pengkafiran dan orang-orang ekstrim dari kalangan Khowarij atau yang seperti mereka yang bodoh akan kaidah-kaidah salaf tentang vonis, menuduh orang yang menyelisihi mereka dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji'ah. Dan kebanyakan yang digembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan selain hukum Alloh dan masalah wala' serta baro'.
Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian penuntut ilmu yang sudah tinggi keilmuaannya ketika menulis masalah takfir pada zaman ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah yang juga diperselisihkan oleh salaf dengan tuduhan Murji'ah. Padahal permasalahannya jika diteliti kembali tidak termasuk prinsip Murji'ah.”
Wallahu Ta'ala A'lam
 
Sumber
http://elilmu.blogspot.com/2011/05/dakwah-salafiyah-bukan-murjiah.html

Begitu Mahalnya Hidayah

Begitu Mahalnya Hidayah

Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?


Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil... Ini tauhid, itu syirik.... Ini sunnah, itu bid'ah... Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.


Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.


Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.


Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah l kepada jalan-Nya yang lurus.


Dalam Tanzil-Nya, Allah l berfirman:


“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)


Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah l berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah l maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)


Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat:


beliau berkata, “Allah l tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah l mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.”


Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah l. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah k berfirman:


“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf: 5)


“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]


Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:


1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:


“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)


2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah l, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah n, terlebih selain beliau, dalam ayat:


“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)


Yang namanya manusia, baik ia da'i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah l semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341)


Saudariku, bersyukurlah kepada Allah l ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah l hidayah kepada jalan yang lurus.


“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)


Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?


Al-Hafizh Ibnu Katsir t memberikan jawabannya: Allah l membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah l setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah l kehendaki. Allah k pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah k untuk memohon hidayah, karena Allah k telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:


“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)


Dalam ayat ini, Allah k memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil 'Azhim, 1/38)


Berbahagialah dengan hidayah yang Allah l berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah k. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah k. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah k anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:


“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)


Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi t, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)


Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.


Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin ….


Wallahu a’lam bish-shawab.


(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

http://elilmu.blogspot.com/2011/05/begitu-mahalnya-hidayah.html